Pengakuan

235 15 0
                                    

Saat di Magelang Ai pangen dijodohin sama I am. Tapi begitu terbang ke Jakarta mendadak berubah pikiran, biarin Ai sama Pijar aja, deh. Ada yang  mau kasih usulan? Ayo,  diterima apapun usulan Ai nantinya berdampingan sama siapa. Yang penting  ceritanya happy end.

Silakan lanjut baca bab yang berikut!


___


Saat hendak beranjak dari teras, pandanganku tertahan oleh bayangan yang datang ke arahku. Aku urung bangkit dan pantatku kembali menempel di kursi seraya menunggu sosok yang mendekat ke kursi di dekatku.

"Wedang jahe, Ai," kata mas Pijar menawari sambil meletakkan dua cangkir minuman di atas meja di hadapanku. "Biar nggak masuk angin."

"Siapa yang mbikin?" tanyaku sambil meraih cangkir dan mencium wangi jahe dari kepulan aromanya.

"Tinggal nuang. Tiap hari mbok Tum bikin satu teko. Enak, lho, incipin, deh!"

Aku menyecap minuman di tanganku dan merasakan kehangatan dan kesegaran di tenggorokan dan perutku. Enak seperti kata mas Pijar. Manisnya juga pas. Aku mengangguk-angguk, tanda menyukai minuman yang dibawakannya.

"Padahal tadi aku sudah mau masuk dan tidur," kataku.

"Barusan kamu habis telpon?"

"Iya. Telpon sama I am," jawabku.

Aku sejenak teringat bude Ningrum dan coleteh anak-anak di arena main kartu tadi. Mereka mengira aku pacaran dengan mas Pijar. Kurasa aku harus meluruskan hal itu sebelum urusannya menjadi panjang. Apalagi kalau sampai terdengar orang tuanya mas Pijar.

"Mas," panggilku

"Pa?"

"Mungkin karena aku dekat dengan Alifa, orang-orang mengira kita pacaran. Sedang mereka tahu Alifa anak kandungmu. Aku takut eyang atau mamamu akan mendengar gossip ini."

"Emang kenapa kalau eyang atau mama tahu?"

"Pasti mereka akan marah dan akan menanyaiku dan memintaku menjauhimu."

"Mereka semua sudah denger, Ai."

Aku menggenggam cangkir yang tertinggal separoh isinya itu dengan erat. Sementara mataku terarah ke wajahnya. "Dan kamu santa-santai saja begitu?" tanyaku nggak ngerti.

"Terus?"

"Ya, bilang kalau itu tidak benar. Bilang juga kalau aku sudah punya pacar di Jakarta."

"Bagaimana kalau kita pacaran sekarang?" sahutnya nekad.

Aku memaksa tertawa. "Bagaimana bisa pacaran kalau kita tidak saling suka?"

"Kamu suka sama aku. Jangan mungkir. Aku tahu dari buku harianmu."

Aku melerok malas mendengar ia mengungkap isi buku harianku yang mengupas habis siapa diriku di hadapan mas Pijar.

"Tapi itu dulu," bantahku.

"Tidak akan semudah itu hatimu berpaling dari cinta pertamamu."

"Aku sekarang sudah brersama I am, Mas." Aku mengingatkannya.

"Ya. Aku tahu. Aku selalu berpikir entah bagaimana caranya aku bisa merebutmu dari I Am. Entah bagaimana aku bisa membuatmu meninggalkan I am."

Aku terhenyak dan segera membungkam tawaku. Sementara mataku yang melebar jelas menatap kesungguhan di wajahnya.

"Kamu janji mau berlutut untuk minta maaf karena berani-beraninya membaca buku harianku," kataku teringat ucapannya saat di mobil tadi. Aku sebenarnya tidak sungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku hanya ingin ia berhenti mengungkap hal memalukan yang ia ketahui dan berusaha mengalihkan pikiran nekadnya itu.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang