Keesokan harinya, Fares sudah datang ke rumah Mela pada pukul 10.00 WIB. Pria itu tampak segar memakai pakaian semi formal dengan kemeja putih dan celana jins berwarna hitam. Fares dan Mela berencana pergi menemui Wedding Organizer untuk memastikan beberapa hal pada acara pernikahan nanti. Fares memberikan Mela wewenang penuh untuk memilih Wedding Organizer yang akan menangani acara pernikahan mereka. Bahkan, Fares nyaris mengiyakan segala hal tentang acara pernikahan yang Mela ajukan atau tanyakan.
Seperti sekarang, saat mereka sudah dalam perjalanan menemui Hana—pihak Wedding Organizer yang Mela sewa—, Mela memandang serius layar ponselnya yang menampilkan beberapa foto gaun pernikahan. Kening perempuan itu mengernyit serius dan bibirnya digigit pelan, kebiasaan kalau sedang bingung.
Fares yang penasaran dengan diamnya Mela, melirik perempuan itu sekilas. Sadar dengan ekspresi serius calon istrinya, pria itu bertanya, "Kenapa?"
"Ini, deh," keluh Mela, langsung menghadap Fares. Senang pria itu peka dengan bertanya lebih dulu. "Aku bingung banget. Kalau menurut Mas, aku lebih cocok pakai baju warna champagne atau warna navy?"
Ditanya seperti itu, Fares tidak tahu apa jawaban yang tepat. Menurutnya, Mela selalu tampak cantik memakai baju warna apa saja. Menurut pria itu, Mela lebih cantik dengan gaun kuning bercorak bunga-bunga atau berwarna krem yang sering digunakannya. Dan...apa pula dua warna itu? Takut salah jawab, pria itu balik bertanya, "Kenapa harus pilih?"
"Soalnya, aku tinggal pilih satu setel gaun lagi. Aku bingung antara dua warna itu. Dua-duanya sama-sama cantik, warna dan modelnya."
"Maksud aku, kenapa nggak ambil dua-dua-nya aja? Kenapa harus pilih?"
Alis Mela bertaut. "Kok dua-duanya? Aku kan, udah pilih dua gaun. Masa mau pake banyak gaun di acara nikahan nanti. Kelamaan ganti baju kalau gitu."
Jawabannya salah. Fares membuka mulut, hendak menimpali ucapan Mela, tetapi kembali tutup mulut karena pikirannya tiba-tiba blank. Aneh. Bersama Mela, pria itu sering kehilangan kata-kata, sedangkan saat meeting penting, dia selalu lancar bicara.
"Harusnya aku nggak nanya," sebal Mela, kembali berkutat dengan ponselnya.
"Warna Navy bagus," kata Fares, buru-buru.
Mela menggeleng. "Aku mau pilih warna champagne aja. Itu lebih bagus."
Fares kehilangan kata-kata lagi. "O...ke." Tanda-tanda jadi suami sepertinya sudah mulai datang, pikir pria itu.
Tidak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di kantor WO yang dituju. Mereka turun dari mobil, memasuki gedung, dan disambut oleh Hana, sang pemilik Wedding Organizer yang Mela pilih.
Hana adalah WO yang mengurus pernikahan salah seorang sepupu jauh Mela yang juga nikah dadakan seperti mereka, tetapi beda kasus. Menurut sepupunya itu, kerja Hana dapat diandalkan dan hasilnya maksimal. Setelah beberapa kali kontak dengan Hana, akhirnya Mela setuju untuk menggunakan jasa perempuan muda itu.
Mereka berdiskusi mengenai rangkaian acara, catering, MUA, dekorasi, gedung, dan segala hal inti yang perlu didiskusikan. Mela dan Fares memilih beberapa opsi pilihan utama lalu menyerahkan detailnya pada Hana.
Setelah semua hal diputuskan, tibalah pada bagian inti acara mereka datang ke sini, pengukuran gaun untuk disesuaikan dengan gaun yang sudah Mela pilih. Hana mengukur ukuran tubuh Mela, sedangkan salah satu pegawai pria WO tersebut mengukur Fares di ruang yang berbeda.
Setelah selesai, Mela kembali mendekati Fares dengan senyum lebar. Setelah semua urusan sudah selesai, mereka berpamitan pergi.
"Seneng?" tanya Fares sambil mengikuti langkah Mela menuju parkiran.
Bibir Mela tersenyum lebar. "Banget. Gaunnya cantik-cantik. Terus tadi desain gedung yang ditunjukin juga bagus banget. Semuanya oke. Aku suka."
Mereka berdua akan menikah dengan adat Sunda yang rangkaian acaranya sudah dimodernisasi seperti pernikahan masa kini pada umumnya.
"Kalau Mas. Seneng?" Mela balik bertanya.
Fares mengangguk, lalu tersenyum lebar.
Setelah mereka tiba di depan mobil Fares, Mela memandang Fares sambil mengernyitkan mata karena sinar matahari yang terik siang ini. "Sekarang langsung pulang?"
"Aku...sebenernya mau ajak kamu pergi ke rumah kita."
Kali ini, alis Mela ikut mengkerut. "Rumah kita?"
"Rumah yang akan kita tempati kalau sudah menikah nanti."
Perkataan itu membuat Mela tersadar, seolah tersengat listrik. Rumah. Keluarga. Kehidupan setelah menikah. Tiba-tiba, suasana di antara mereka terasa serius dan nyata. Dan ini waktunya perempuan itu meraih semua hal yang diimpikannya sejak dulu: pernikahan dan keluarga kecil yang bahagia.
Mela memandang Fares dengan penuh rasa percaya lalu mengangguk. "Yuk."
Dan, saat Mela memasuki mobil untuk pergi ke rumah masa depannya, saat itulah perempuan itu tahu kalau kehidupan barunya sudah terpampang di depan mata dan akan benar-benar dimulai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying The Second Lead [END]
ChickLitMela menyukai Ervin sejak lama, tetapi pria itu akan menikah dengan wanita lain. Fares menyukai Mela sejak lama, tetapi wanita itu menyukai pria lain. Bagaimana jadinya jika Mela dan Fares menikah, dengan kondisi hati si wanita milik pria lain? Bisa...