16. Percakapan Antar Pria

979 140 21
                                    

Bara muncul banyak nih, disini....

***

Fares tidak yakin, kenapa Daneswara bersaudara memiliki perbedaan karakter yang cukup jauh. Akas yang luar biasa aktif dan jahil sangat bertolak belakang dengan Bara yang cenderung pendiam dan tegas. Sementara Mela...ah, Fares tidak yakin kenapa perempuan itu sangat cantik, mempesona, dan selalu membuat jantungnya berbunga-bunga. Dari tiga bersaudara itu, menurutnya Mela adalah yang terbaik.

Seperti sekarang. Meski Mela sepertinya belum mandi karena masih memakai piyama, Fares merasa perempuan itu sangat memikat. Wajah tanpa make-upnya terlihat lembut dan bersih.

"Ini punya Mas udah semua kan, ya?" tanya Mela sambil melirik Fares sekilas. Perempuan itu duduk di hadapannya sambil mengecek berkas di tangan.

Fares mengangguk, menatap sebundel kertas fotokopian data-data diri masing-masing yang dibutuhkan untuk mendaftarkan pernikahan ke KUA. "Udah."

Mela menyimpan berkas tersebut ke atas meja. "Oke kalau gitu. Udah semua berarti. Aku siap-siap dulu ya, Mas. Tunggu sebentar."

Fares mengangguk dan Mela segera meluncur menaiki tangga menuju kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke KUA. Sebenarnya, mereka sudah janjian berangkat tepat waktu. Namun, karena rumah Mela sibuk mempersiapkan bingkisan untuk diberikan pada tetangga-tetangga yang datang untuk mengucapkan selamat, perempuan itu ikut membantu ibunya, meski ada beberapa pekerja. Jadi, Mela baru siap-siap berangkat sekarang, saat Fares sudah tiba di rumahnya. Di ruang tengah, Fares ditinggalkan sendiri. Dia sudah biasa menunggu Mela. Karena itu, dia juga tidak lupa membawa perangkat super pentingnya kalau sedang menunggu, IPad.

Fares meraih IPad yang dari tadi dibawanya dari atas meja, memutuskan untuk mengecek pekerjaannya yang akhir-akhir ini sering terhambat karena kesibukan pernikahan dadakannya. Sedangkan di bagian belakang rumah, calon ibu mertua dan pegawainya masih sibuk membungkus bingkisan.

Ketika Fares baru membuka file pekerjaannya, rencananya itu tidak terealisasi karena suara seseorang menuruni tangga menarik perhatiannya. Fares mengangkat kepala dan melihat Bara menuruni tangga dengan langkah tenang. Pandangan mereka bertemu dan Fares mengangguk untuk menyapa. Bara balas mengangguk.

Meski sudah kenal keluarga Daneswara sejak lama, Fares masih belum bisa benar-benar dekat dengan Bara. Pria itu seolah memberi batasan pada semua orang, bahkan pada keluarganya sendiri. Bara cenderung tidak banyak bicara, tetapi pandai membuat keputusan dan bersikap tegas sekaligus praktis. Fares belum pernah berhubungan bisnis dengan pria itu, tetapi menurut beberapa rekan bisnisnya di dunia periklanan, Fares adalah pebisnis yang cukup disegani oleh saingan di bidangnya.

Kakak pertama Mela itu berjalan mendekati Fares dan duduk di sampingnya. "Mela kalau siap-siap lama, Res," beritahu Bara. "Mau minuman atau kopi? Mela kayaknya lupa nawarin ya, sama kamu," lanjutnya saat melihat meja di hadapan Fares kosong.

Fares mengangguk. "Sudah tahu, Mas. Semua perempuan memang gitu, kan," jawab Fares. "Dan, nggak usah. Makasih."

Bara angguk-angguk. Pria itu memakai kaus hitam dan celana jins panjang yang memberikan kesan santai tetapi tetap rapi. Kemudian, percakapan di antara mereka berhenti. Fares menutup IPad-nya dan hendak bercakap-cakap dengan Bara mengenai topik pekerjaan agar suasana di antara mereka tidak aneh. Namun, saat Fares melihat Bara, pria itu menyadari kalau Bara sedang memandangnya dengan serius. Senyum ramah Fares seketika hilang, begitu pun topik pembicaraan yang sudah direncanakannya di dalam kepala.

"Kamu sudah bilang perasaan kamu ke Mela?"

Pertanyaan dadakan Bara yang to the point membuat Fares terbeliak, lalu mulutnya terkunci rapat.

"Belum, ya? Kenapa? Takut Mela nggak akan bilang hal yang sama?" tanya Bara lagi.

Tebakan telak.

Bara mengalihkan pandangan ke layar televisi yang mati di depannya. "Sebelum kamu datang ke sini untuk melamar Mela, aku tahu Mela patah hati. Dia sering nangis semalaman di kamarnya."

Fares menatap Bara dengan kedua mata melebar. "Apa sekarang dia masih sering nangis?"

Bukannya menjawab, Bara balas berkata dengan serius. "Aku nggak tahu apa alasan sebenarnya kalian menikah dan apa rencana yang kalian susun, tapi jangan jadikan pernikahan kalian permainan. Itu bakal nyakitin kalian berdua."

"Nggak akan pernah," kata Fares. "Aku serius nikahin Mela, Mas."

Bara mengangguk, lalu pandangannya beralih pada foto Mela di dinding, tepat di atas televisi. Pada potret itu, sosok Mela remaja sedang tersenyum lebar sambil memamerkan buket bunga yang didapatnya saat kelulusan sekolah. "Mela suka bikin keputusan gegabah, plin-plan, manja, gampang marah..." kata Bara dengan pandangan menerawang dan senyum tipis.

"Lucu, baik, perhatian..." sambung Fares.

Mereka saling tatap, lalu Bara tersenyum sambil berkata. "Dan dia punya tekad yang kuat."

Fares mengangguk. "Sependapat."

"Aku tahu kamu akan selalu ngalah demi Mela," kata Bara. "Tapi kalau dia terlalu gegabah dan keluar dari jalur aman, tolong bersikap tegas, Res."

Fares mengangguk. "Aku akan berusaha keras demi hubungan kami, Mas. Sama seperti Mas, aku pengen Mela bahagia."

Bara mengangguk kemudian pandangannya menatap ke foto keluarga yang tergantung di dinding di hadapan mereka. Ada sosok keluarga Daneswara ketika sang ayah masih hidup dan tiga saudara itu masih kecil.

"Dari dulu, Mela selalu pingin punya keluarga kecil yang bahagia, punya banyak anak, dan punya suami baik yang cinta banget sama dia. Aku pikir, karena alasan itu, dia akhirnya mutusin buat nikah sama kamu."

Ujung kedua alis Fares menyatu. "Maksudnya?"

"Dia tahu kamu cinta sama dia," jawab Bara. "Aku nggak terlalu pandai soal hubungan semacam ini. Tapi...sama seperti semua orang bisa lihat kalau kamu sayang sama Mela, semua orang juga tahu kalau Mela pasti bisa balas perasaan kamu."

"Semoga," balas Fares.

"Tapi sebelum itu, Res. Mela berhak dengar langsung kalau kamu suka, peduli, dan cinta sama dia."

Perkataan Bara pelak membuat Fares terdiam. Dia memandang calon kakak iparnya dengan serius lalu mengangguk. Bara benar, Fares harus mengatakannya. Namun, pria itu akan mencari momen yang tepat.

"Thanks," kata Fares yang diangguki Bara.

Suara langkah kaki seseorang menuruni tangga membuat pandangan Fares dan Bara menoleh pada Mela. Perempuan itu sudah berganti pakaian dengan dress bunga-bunga berwarna ungu. Rambut hitamnya diuraikan dengan rapi. Belum sempat berdiri di depan Fares, Mela sudah berkata, "Mas, nanti habis dari KUA, mampir ke rumah kita dulu, ya. Aku mau simpan ini." Mela menunjuk dua tas baru yang diantar tukang paket kemarin sore.

"Oke."

"Oiya. Sama alamat rumah kita itu apa, Mas? Aku kemarin beli baju online, dikirim ke sana aja, ya. Soalnya pre order. Perkiraan nyampenya pas kita udah nikah."

Fares dengan sabar menyebutkan alamat rumah dan Mela mengetiknya di ponsel.

Bara memandang dua orang di depannya dengan sorot sayang. Mereka cocok bersama. Sepertinya, Bara tidak perlu terlalu khawatir dengan kehidupan sang adik.

"Oke. Yuk, Mas, kita berangkat."

Saat Mela berjalan menuju dapur untuk berpamitan dengan ibunya, Bara melirik Fares dengan seringai lebar. "Mela nggak mandi."

Dan Fares balas menyeringai. "Masih tetep cantik, kok."

***

Kalau fast update gini kan seneng, yaaaa... Moga mood nulis aku baik terus kayak gini 🤧
Oiya btw, ini tuh aku harusnya manggil Mas itu A. Tapi nanti aja aku gantinya kalau udah tamat. Heu.

Salam,
Oepha Im

Btw, aku akan post bocoran bab selanjutnya di IG. Monggo dicek ya...

Marrying The Second Lead (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang