23. Sama-sama Suka tapi Tidak Sama-sama Berjodoh

1K 117 2
                                    

Yeay! Update!

Happy reading...

***

Tolol. Benar-benar di luar akal sehat.

Mela tidak mampu harus merespons bagaimana lagi atas kejadian fenomenal yang menimpanya barusan kecuali menangis. Bahkan, ketika berjalan meninggalkan kafe dan mengendarai mobil untuk pulang ke rumah ibunya, Mela masih menangis. Perempuan itu sesekali kehilangan fokus karena air mata yang terus saja tumpah ruah ke pipi. Dadanya sesak dan matanya panas. Kenyataan konyol ini membuatnya mempertanyakan keputusan-keputusan gegabah yang diambilnya selama ini dan menyimpulkan satu pertanyaan; bagaimana hubungannya dengan Fares ke depan? Ke manakah hatinya akan berpihak? Dan mampukan Mela mempertahankan hubungannya dengan Fares meski hatinya berada di tempat lain?

Sesampainya di rumah, perempuan itu lega karena tidak melihat kehadiran mobil Fares di mana pun, itu artinya, Fares belum sampai ke rumah. Setelah memarkirkan mobil, Mela segera menyeka air mata. Dia tidak boleh ketahuan menangis oleh siapa pun. Ibunya tidak boleh melihat kondisinya yang berantakan. Perempuan itu merapikan rambutnya, make up yang sedikit berantakan, dan saat memastikan penampilannya baik-baik saja, Mela memasuki rumah.

Sesuai prediksi, begitu memasuki ruang tengah tempat sang ibu berada, perempuan paruh baya itu langsung menyerbunya dengan sorot khawatir. "Kamu dari mana, Mel? Kenapa tadi pergi dadakan gitu aja?"

Mela tersenyum tipis, tetapi hal itu membuat bibirnya sakit. Pura-pura baik-baik saja, Mela berkata dengan kekehan singkat. "Aku lupa beli kado buat temen, jadi barusan beli dulu."

Ibunya celingak-celinguk. "Terus kadonya mana?"

"Em... di mobil."

Sang ibu menghela napas lega. "Oh. Kaget banget, Mamah. Kirain ada apa-apa."

Mela nyengir kaku. "Maaf. Tadi aku panik banget, Mah. Mas Fares belum datang ke sini?"

"Belum."

"Oh, oke kalau gitu. Aku ke kamar dulu ya, Mah."

Tanpa menunggu respons Mamah, Mela berjalan menuju kamarnya. Tangis yang ditahannya lolos dan perempuan itu semakin mempercepat langkahnya. Saat Mela berjalan menaiki tangga, dia mendengar deru mobil berhenti di depan rumah. Pasti mobil Fares.

Perempuan itu belum siap bersimuka dengan Fares. Maka, Mela tetap berjalan menuju kamarnya. Dan saat menutup pintu, begitu menyadari Fares tidak jauh darinya, Mela tidak bisa menahan tangisnya. Mengingat Fares dan semua kebaikan pria itu membuat Mela semakin tidak kuasa menahan emosi.

Mas Fares... aku harus gimana? Pikir perempuan itu dengan hati tersayat.

Tidak lama, suara seseorang berjalan menaiki tangga dan menuju arah kamarnya membuat Mela segera menyeka air mata dan berlari ke kasur. Dia merentangkan tubuh di tempat itu sambil menyelimuti seluruh tubuh dengan selimut.

"Mel, aku buka pintunya, ya."

Saat mendengar suara Fares, Mela menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Saat suara pintu terdengar, Mela memejamkan mata, dan ketika Fares memanggilnya, Mela tahu harus bersikap bagaimana untuk menutupi wajahnya yang sembab.

"Mel?" Fares berjalan mendekati Mela dengan alis bertaut. "Mel? Kenapa?" tanya pria itu lagi.

Mela mengeluh. "Aku sakit perut, Mas," katanya berusaha agar suaranya tidak serak.

Fares duduk di kasur dan menyentuh bahu Mela, membalik tubuh perempuan itu agar menghadapnya. "Tiba-tiba?"

Mela memandang Fares dengan enggan lalu mengangguk.

Fares terlihat khawatir lalu menyentuh pipi Mela. "Kok nangis? Sakit banget, ya?"

"I-iya."

"Aku ambilin obat, ya?"

Mela menggeleng.

"Kalau perut kamu sakit, harus cepat diobati, Mel."

Mela memandang suaminya lekat-lekat."Mas bisa peluk aku aja, nggak?"

Tanpa bertanya kenapa, atau menunggu waktu lebih lama, Fares segera memeluk Mela. Tangis perempuan itu pecah dan Fares dengan sabar mengusap-usap punggung Mela penuh kasih sayang.

"Sakit banget, ya?" Tanya Fares lembut.

Mela mengangguk. "Sa-sakit banget, Mas."

Fares memeluk Mela semakin erat. "Kita nggak usah datang ke pernikahan Ervin saja," usul Fares.

Mela mengangguk. Lima menit mereka diam dalam pelukan, Mela menangis dan Fares memeluknya semakin erat.

"Aku mau pulang," kata Mela kemudian.

"Sekarang?"

Mela mengangguk. Perempuan itu menyeka air matanya, melepas pelukan Fares yang terasa menenangkan, lalu memandang pria di hadapannya.

"Perutnya udah enakan?"

Mela mengangguk. "Mata aku merah banget, Mas? Keliatan habis nangis banget?"

Fares mengusap setitik air mata di ujung pipi Mela lalu menggeleng. "Enggak."

"Aku nggak mau bikin Mamah khawatir."

Fares mengangguk.

"Yuk, pulang," ajak Mela.

"Yuk."

Fares membantu Mela berdiri, lalu mereka berjalan ke ruang tengah. Ibunya sudah ada di sana, sedang menonton TV. Mereka berpamitan pergi. Untunglah, meski sedikit heran dengan ekspresi Mela, sang ibu tidak bertanya lebih jauh. Dalam perjalanan menuju rumah, sepasang manusia itu saling diam. Awalnya, Fares bertanya apa Mela membutuhkan sesuatu, tetapi perempuan itu hanya menggeleng. Sesampainya di rumah, Mela segera memasuki kamar dan berdiam diri di sana. Fares menatap sendu punggung perempuan itu. Ketika Fares memberanikan diri memasuki kamar, perempuan itu sudah menutup seluruh tubuh dengan selimut dan beralasan ingin tidur.

"Mau aku bikinin dulu teh manis?"

Mela menggeleng.

"Biskuit?"

Mela menggeleng.

"Obat sakit perut?"

Mela menatap Fares. "Aku mau sendiri, Mas. Ini sakit perut karena datang bulan," alasannya.

Fares mengangguk pelan, penuh rasa enggan untuk meninggalkan kamar itu

"Kalau butuh apa-apa...langsung panggil aku ya, Mel."

Mela mengangguk. "Iya."

Fares pun keluar kamar dan Mela menangis diam-diam.

Bingung atas apa yang harus dilakukan kedepannya.

***

Marrying The Second Lead [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang