Danny memasuki rumah bergaya mediterania−yang didominasi cat berwarna putih dengan beberapa tanaman bunga yang berada di bagian depan−dengan langkah lebar.
Rumah itu adalah rumah peninggalan Bapak. Rumah yang cukup besar untuk dihuni oleh Ibu seorang diri dan hanya ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.
“Assalamualaikum,” seru Danny setelah mengetuk pintu.
Beberapa saat kemudian terdengar suara anak kunci yang dimasukkan ke dalam lubang, lima detik selanjutnya pintu terbuka.
“Waalaikumsalam,” sapa seorang wanita paruh baya yang mengenakan celemek yang terkena tepung di beberapa bagian. “Mas Danny toh ternyata. Rapi banget habis dari mana?”
Wanita itu menggiring Danny masuk ke dalam rumah setelah kembali menutup dan mengunci pintu.
“Habis ketemu klien, Bi.”
“Hari Sabtu juga kerja, Mas?”
“Seharusnya memang libur, Bi, tapi tadi mendadak dan agak penting,” jelas Danny singkat, “Ibu ke mana?” tanya Danny kemudian. Menatap wanita yang ia panggi ‘Bi’ itu dengan agak menyerong karena perbedaan tinggi badan yang amat sangat mencolok. Wanita itu adalah Bi Surti, asisten rumah tangga di rumah itu yang sudah mengabdi sejak Danny masih bayi.
“Ibu di dapur, lagi bikin kue buat arisan besok, Mas.”
Danny manggut-maggut. “Ya sudah, kalau begitu saya langsung naik, ya, Bi. Nanti saya turun setelah mandi.”
“Nggak mau minum teh dulu, Mas? Bibi buatin sebentar.”
“Terima kasih, Bi. Nanti saja,” jawab Danny sambil tersenyum sopam lalu berpamitan untuk menuju kamar dan membersihkan diri sebelum menemui ibunya.
Sesampainya di kamar, Danny tidak langung bergegas mandi. Ia mengeluarkan laptop dan berkas perkara dari tas kerja. Sembari menunggu laptop menyala, Danny membuka berkas perkara yang sedang ia tangani.
Danny adalah seorang pengacara yang fokus mengurusi masalah sengketa bisnis suatu perusahaan atau instansi.
Kasus yang sedang ia tangani saat ini adalah terkait tentang sengketa perdata karena transaksi keuangan yang ilegal pada sebuah perusahan start up yang masih sangat baru.
Danny membuka-buka berkas perkara yang cukup tebal itu dengan begitu fokus. Sesekali membuat catatan pada sticky note berwarna-warni yang kemudian ia tempelkan pada bagian yang telah ia tandai dengan coretan-coretan.
Saking fokusnya pada pekerjaan, Danny tidak mendengar suara ketukan pintu.
“Ibu minta kamu pulang bukan untuk kerja, Dan,” tegur Mutia yang melongokkan kepala di celah pintu yang terbuka.
“Cuma ngecek sedikit, Bu,” jawab Danny ngeles. Ia mendongak sebentar untuk melihat ibunya dan kembali menatap berkas di tangannya.
Mutia geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak sulungnya itu lalu masuk ke dalam dan duduk di ujung ranjang. “Kamu ini, udah sepuluh tahunan sejak mulai bekerja, ambisiusnya nggak hilang-hilang. Pekerjaanmu nggak akan tiba-tiba lari walaupun ditinggal buat istirahat selama libur.”
“Iya, Bu,” gumam Danny. Matanya masih terpaku pada berkas yang penuh coretan itu.
“Jangan cuma iya-iya. Berkas sama laptopnya ditutup dulu, terus mandi,” omel Mutia, “nurut sama Ibu!” lanjutnya saat Danny masih juga tak bergeming.
Danny akhirnya menurut meski agak keberatan. Ia menutup berkas perkara dan mematikan laptop dalam diam.
“Langsung mandi, Dan. Nggak usah lama-lama. Sudah waktunya makan malam ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDROOM WARFARE
PoetryFOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA^^ (18+ only) "Gimana kalo kita tidur bareng aja?" (Sandra Javinkha) "Kamu serius ngajak saya ML? Memangnya kamu nggak takut partner sex kamu punya penyakit kelamin?" (Danny El Arkan) °°° Arisan membawa petaka! Mengisahkan...