Mobil yang dikendarai oleh Danny membelah jalanan kota Jakarta yang amat sangat padat bersama kendaraan-kendaraan lainnya yang beradu klakson hingga suaranya bersahut-sahutan. Bising dan sangat mengganggu. Mereka sama-sama tak sabar ingin maju duluan agar segera sampai tujuan.
Suasana di luar sana tak memengaruhi suasana di mobil Danny dan Sandra yang adem ayem. Danny sudah sempat memperingkatkan tentang macetnya jalanan dan memastikan Sandra tidak akan mengeluh. Dan beruntungnya, Sandra santai-santai saja mengisi waktu di tengah-tengah kemacetan itu dengan bersenandung riang mengikuti lagu yang diputar di radio.
Butuh hampir satu jam dari Menteng−yang kalau di jam-jam normal bisa ditempuh tak sampai setengah jam–untuk sampai ke tempat tujuan karena macet yang tidak manusiawi. Ditambah lagi sempat ada kecelakaan kecil yang membuat perjalanan memakan waktu lebih lama.
Mereka langsung melakukan check in dan ditemani oleh petugas hotel menuju kamar yang sudah mereka pesan.
Ketika telah masuk ke dalam kamar bertipe Deluxe King itu Sandra langsung mengernyit tak puas.
"Aku yakin dulu kita check in-nya di kamar ini. Aku nggak mungkin salah inget, deh. Tapi kok rasanya beda ya. Kayak baru pertama kali masuk ke kamar ini."
"Memang benar di sini, Sandra."
Danny menyentuh punggung Sandra agar meneruskan berjalan masuk—karena langkah Sandra yang sempat terhenti di depan pintu.
Sandra masih mencoba mengais ingatan sembari melarikan pandangan ke setiap sudut kamar hotel itu.
Ruangan itu memiliki satu ranjang berukuran king di tengah-tengah ruangan. Terdapat TV yang menempel di dinding yang berhadapan langsung dengan ranjang. Di sisi kanan ranjang terdapat nakas kecil, di atasnya ada telepon. Di sisi kiri terdapat jendela kaca yang besar yang tertutup oleh tirai putih, kemungkinan ruangan itu akan disirami oleh cahaya matahari pagi yang masuk dengan sempurna.
Tepat di samping jendela, mungkin berjarak tak lebih dari lima puluh sentimeter terdapat single sofa berwarna merah bata dilengkapi oleh meja kayu berbentuk bundar berkaki satu yang terdapat vas berisi bunga. Tepat di samping pintu masuk, ada satu pintu yang mengarah ke kamar mandi, yang dilengkapi bath up, WC duduk, kaca berukuran besar, hampir memenuhi separuh dinding,
Setelah diperhatikan lebih lama, suasana kamar itu memang terasa berbeda dengan yang Sandra ingat. Entah mungkin tata letak benda-benda di ruangan itu yang berubah, atau fasilitasnya yang bertambah, atau karena dulu cat dindingnya yang berwarna putih bersih kini berubah menjadi cokelat susu yang menjadikan kamar terasa lebih hangat dan homey. Atau memang Sandra saja yang dulu tak memperhatikan detail kamar hotel itu karena yang di kepalanya malam itu adalah bagaimana ia mengenyahkan bayangan mantan kekasihnya yang berengsek dan menggantinya dengan sosok baru yang asing tetapi cukup untuk memanjakan mata karena parasnya yang sekilas mirip Nicholas Saputra. Yang sekarang telah menjadi suaminya.
"Saya mandi dulu, ya," ucap Danny begitu Sandra sudah mengganti fokusnya dan sibuk mengeluarkan barang-barang bawaan dari koper yang mereka bawa.
"Mandinya nggak usah lama-lama, Mas. Aku udah laper."
Danny merespons dengan gumaman sebelum menghilang ke balik pintu kamar mandi.
Ya, pada akhirnya Danny memang tidak mandi di apartemen dengan alasan bahwa semua akan sia-sia karena dirinya akan berkeringat lagi saat di jalan. Sandra yang sudah malas berdebat pun membiarkan Danny sesukanya. Sudah untung pula Danny masih mau diajak keluar apartemen. Sandra tak ingin membuat Danny semakin malas kemudian berubah pikiran hanya karena dipaksa mandi sore sebelum pergi.
"Sandra," panggil Danny.
Kepala dan separuh badannya menyembul dari dalam kamar mandi. Tubuh bagian atasnya sudah tak tertutup kain apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDROOM WARFARE
PoetryFOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA^^ (18+ only) "Gimana kalo kita tidur bareng aja?" (Sandra Javinkha) "Kamu serius ngajak saya ML? Memangnya kamu nggak takut partner sex kamu punya penyakit kelamin?" (Danny El Arkan) °°° Arisan membawa petaka! Mengisahkan...