"Aku pulang sendiri aja, Mas," ucap Sandra sembari membereskan barang-barang yang menberantaki meja rias di kamarnya. Ia memasukkan beberapa alat make up ke dalam pouch yang ukurannya cukup besar."No, Sandra. Saya antar," tegas Danny.
Sandra yang tadinya membelakangi posisi Danny itu pun berbalik dan berhadapan dengan Danny yang duduk di ujung ranjang. Berjarak sekitar satu meter dari posisinya.
"Kayaknya tadi pagi kita udah sepakat kalau kita akan pulang ke Depok sendiri-sendiri," kata Sandra dengan kerutan samar di kening pertanda bingung.
"Itu karena jadwal saya berubah. Saya sudah di sini sekarang, jadi nggak ada alasan buat pulang sendiri-sendiri," jawab Danny sembari bersedekap.
Sandra pun tak mau kalah. Ia menumpukan tubuh pada meja di belakangnya, kemudian mengikuti gerakan Danny dan bersedekap.
"Mas, aku nggak suka ya kalau kamu mulai kayak gini. Aku nggak mau kamu repot bolak-balik cuma buat antar aku."
"Rumah kamu dan rumah Ibu kan sama-sama di Depok, Sandra. Jaraknya nggak seberapa dan saya sama sekali nggak repot. Kalaupun saya repot, saya nggak masalah selama kamu aman sampai rumah. Karena dengan begitu saya bisa lega."
"Oke, I get it. Aku paham maksud kamu. Kamu khawatir sama aku. Tapi untuk hari ini, aku tetap mau pulang sendiri." Sandra geleng-geleng kepala. Susah sekali bicara dengan Danny yang dalam mode keras kepala. Ia pun berbalik untuk melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti.
"Pagi-pagi besok aku perlu jemput keluarga yang dari luar kota. Aku juga Kalau aku pulang nggak bawa mobil nanti repot," lanjut Sandra.
Ia selesai dengan urusan make up dan tetek bengeknya. Kemudian ia menjauh dari meja rias menuju lemari yang berada di sisi kiri ruangan. Ia mengeluarkan koper mini dari bagian paling bawah lemari.
"Saya antar pakai mobil kamu."
"Tapiㅡ"
Danny menggeram kesal. "Nggak ada tapi-tapian, Sandra. Just listen to me, okay?"
Mendengar geraman yang lolos dari bibir Danny membuat rasa kesal Sandra ikut terpancing. Sandra yang baru saja berhasil mengeluarkan koper mini dari lemari itu dengan agak keras membantingnya di lantai.
"Mas Danny, aku bukannya nggak mau kamu antar pulang, tapi aku pilih pulang sendiri karena lebih efektif dan hemat waktu."
Mata Danny membelakangi selama sepersekian detik. Agak kaget karena reaksi Sandra. Ia pun mendesah kecil.
"Kamu terlalu mandiri. Kamu bikin saya jadi seolah-olah nggak berguna."
"Nggak berguna gimana, sih, astaga! Terserahlah, aku pusing!" Suara Sandra naik satu oktaf. Pertanda ia mulai marah dan super kesal karena laki-laki yang masih duduk tenang di ujung ranjang itu.
Belum sempat menimpali ucapan Sandra, tiba-tiba terdengar nada dering yang cukup nyaring berasal dari ponsel milik Danny. Menginterupsi perdebatan yang mulai memanas.
Danny mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ada nama Alex yang tertera di layar. Ia berdiri dari posisi duduknya dan berdiri membelakangi Sandra.
"Halo, kenapa, Lex?"
"...."
"Gue udah balik. Berkas kasus yang lo minta udah gue titipin Kinasih," ucap Danny. "Kita bahas nanti aja. Gue lagi nggak pegang laptop."
Dari posisinya saat ini, Sandra tidak mendengar suara si penelepon. Namun, dari gestur Danny yang beberapa kali menyugar rambut dengan kasar dan juga dari punggungnya yang tegak, Sandra tahu kalau ada masalah yang tengah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDROOM WARFARE
PoetryFOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA^^ (18+ only) "Gimana kalo kita tidur bareng aja?" (Sandra Javinkha) "Kamu serius ngajak saya ML? Memangnya kamu nggak takut partner sex kamu punya penyakit kelamin?" (Danny El Arkan) °°° Arisan membawa petaka! Mengisahkan...