BAB 29. Naik Tingkat

1.9K 179 3
                                    

Sudah lebih dari setengah jam berlalu setelah Mutia pergi dari apartemen Danny, namun belum ada yang membuka percakapan sama sekali. Danny dan Sandra saling membisu. Sama-sama sibuk dengan isi kepala masing-masing. Sandra yang sibuk memikirkan nasib ke depannya kalau benar-benar harus menikah dengan Danny. Sedangkan Danny sedang dilema memikirkan reaksi dan keputusan Sandra akan hal ini.

Sejujurnya Danny cukup senang karena mendapat dukungan langsung dari Mutia yang membukakan gerbang−secara paksa−untuk memudahkan dirinya selangkah lebih maju untuk bisa menikahi Sandra. Namun, jelas ini sangat berisiko. Sandra sangat tidak bisa ditebak. Dan ancaman dari Mutia tadi jelas memungkinkan bagi Sandra untuk memilih mundur dan melepaskan Danny begitu saja. Benar-benar bukan hal yang menyenangkan untuk dibayangkan.

"What should we do, Dan?" tanya Sandra dengan nada yang sarat akan rasa frustrasi.

Danny semakin kalut saat mendapati Sandra terduduk lesu. Rasanya Danny bisa langsung tahu apa yang berada di benak Sandra saat ini. Kedatangan Mutia yang dianggap berkah oleh Danny itu kemungkinan dipandang oleh Sandra sebagai musibah. Ya, hanya dirinya yang selama ini menginginkan pernikahan. Sedangkan Sandra, Danny cukup yakin kalau wanita itu meletakkan pernikahan di prioritas ke sekian yang bahkan belum terpikirkan. Bahkan untuk berhubungan serius pun Sandra sempat harus mengajukan sebuah ajakan untuk uji coba. Apalagi sampai harus dihadapkan pada pernikahan langsung. Pasti sangat sulit bagi wanita itu untuk memutuskan. Namun, Danny juga ingin mengikat Sandra secepatnya. Membuat wanita itu berada di sisinya. Ia benar-benar ingin egois sekarang.

"Benar kata Ibu, cepat atau lambat saya tetap akan menikahi kamu, Sandra."

Sandra menatap lurus mata Danny yang menatapnya dengan begitu lekat. "Belum ada sebulan kita jalan, Dan. Aku yakin kalau ibu kamu dan mamaku bakal langsung gerak cepat. Bisa-bisa dua minggu lagi kita udah lamaran. Terus bulan depan kita langsung nikah. Gila! Aku nggak mau begitu!"

"Nanti masih bisa diobrolkan. Sekarang, kamu jawab dulu pertanyaan saya. Kalau seandainya kamu saya kasih waktu sampai akhir tahun ini, kamu akan terima saya jadi suami kamu atau nggak?"

"Ya mana aku tahu, Dan. Kan aku udah bilang aku perlu waktu." Sandra mengacak rambutnya hingga mencuat sana-sini. Kepalanya mendadak panas dan pening. Otaknya macet dan tidak bisa diajak berpikir dengan benar. Kejadian tadi terlalu tiba-tiba hingga ia tidak bisa mengambil tindakan untuk menghentikan apa pun itu yang diinginkan oleh ibunya Danny.

Danny mendesah. "Saya tahu jawaban kamu akan begitu."

"Terus kamu maunya gimana?"

"Kamu jelas tahu apa yang saya mau. Kalaupun nggak sekarang, saya jelas akan menikahi kamu di masa yang akan datang. Dari awal saya udah bilang."

"Kamu harusnya bantu aku mikir biar bisa nunda lebih lama. Bukan malah ikut memojokkan aku," kata Sandra dengan gusar.

"Kamu tahu sendiri kalau Ibu nggak main-main tadi. Kalau kita nunda-nunda yang ada malah kita nggak akan bisa menikah," cetus Danny. Di saat seperti ini, Danny benar-benar tidak bisa diandalkan karena laki-laki itu memiliki visi yang sama dengan ibunya.

Sandra meraup wajahnya dengan kedua tangannya dengan kasar. Kemudian matanya menatap Danny dengan nyalang. Ada resah dan gelisah yang tak mau repot-repot ia tutup-tutupi. "Aku nggak bisa kalau harus nikah dalam waktu dekat, Dan. Please, kamu ngertiin aku sedikit, dong!"

Danny mengelus lengan Sandra dengan lembut. Perlakuannya ini membuat Sandra lebih tenang. "Sekarang kamu maunya apa? Biar saya yang bilang ke Ibu," ucap Danny dengan sabar.

"Aku maunya nikah saat aku benar-benar udah siap, bukan karena dipaksa kayak gini." Sandra melemparkan tatapan memohon.

"Kalau seandainya Ibu benar-benar kukuh maunya kita menikah dalam waktu dekat, gimana?"

BEDROOM WARFARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang