Hari demi hari berlalu. Karena kesibukan masing-masing, Danny dan Sandra masih belum kembali membahas perihal kunjungan Sandra ke rumah sakit beberapa waktu lalu−yang sempat membuat pasangan suami istri itu ribut kecil. Selain karena Sandra agak malas membahas masalah yang kemungkinan akan kembali menuai keributan, Danny juga tidak menyinggung masalah itu lagi. Entah karena lupa, atau mungkin masih mencari waktu yang pas untuk menagih penjelasan langsung dari Sandra.
Bukan berarti Sandra merasa tenang-tenang saja. Sama sekali tidak. Karena ada saat-saat di mana ia tak bisa menghindar dan menyimpan rahasia sendirian.
Contohnya saat keduanya berhubungan badan−setelah Sandra selesai menstruasi, Danny sempat sadar kalau Sandra seperti menahan rasa sakit. Terlihat sekali di wajah wanita itu. Laki-laki itu berhenti sejenak dan bertanya dengan nada khawatir, "Saya menyakiti kamu, ya? I'm sorry, saya coba lebih pelan, ya."
Danny yang terlalu pengertian membuat Sandra terenyuh. Maka yang kemudian Sandra lakukan adalah menggelengkan kepala dan meminta Danny untuk melakukannya seperti biasa. Meski terasa sakit, Sandra pun masih bisa mencapai kepuasan.
Sandra sebal sendiri sebenarnya. Ia bukan tipe yang suka menyimpan rahasia dan lebih suka membaginya dengan orang lain. Namun, menilik respons Danny kemarin yang dengan cepat mendulang emosi, Sandra jadi urung memberitahu perihal penyakitnya kepada suaminya itu. Padahal ia pun tahu kalau semakin ditunda-tunda, dampaknya pasti akan jauh lebih parah. Apalagi ini bukanlah hal sepele. Danny jelas akan marah besar jika mengetahui Sandra sakit belakangan.
"Sandra," panggil Danny saat sepasang suami istri itu sedang sarapan pagi.
Sandra mendongak. Menatap Danny dengan kernyitan di kening. "Kenapa, Mas?"
"Minggu depan saya harus ke luar kota buat ngisi seminar di UB. Dua hari di Malang," jelas Danny setelah menelan makanan di mulutnya.
"Acaranya kapan?"
"Hari Kamis dan Jumat."
Tak pelak Sandra langsung merengut. "Aku nggak bisa ikut, dong?"
Danny meneguk air mineral dari gelas sebelum kemudian menimpali, "Kamu pengen ikut?"
Sandra mengangguk kecil. "Kalau pengen sih ya pengen, Mas. Kita kan belum honeymoon."
"Kalau kamu bisa cuti, nanti saya bisa extend sekalian. Kamu nyusul ke Malang, nanti kita ke Batu. Atau bisa ke Bali. Terserah kamu pengennya ke mana. Gimana?"
Mata Sandra sempat berbinar beberapa saat sebelum kembali meredup. Ia teringat jadwal kerja yang sudah tersusun sampai minggu depan.
"Minggu depan nggak bisa. Aku ada meeting sama atasan, nggak bisa diganti hari soalnya susah banget nentuin waktu. Nggak mungkin bisa absen."
"Ya udah, next time aja. Kemarin sebelum menikah kan sudah sepakat kalau honeymoon bisa kapan aja. Kalau emang kamu mau, kamu cari waktu, nanti diskusikan sama saya lagi."
Sandra hanya bisa mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi? Cuti di saat pekerjaannya sedang menumpuk bukanlah pilihan yang bagus. Kalau ia memaksa cuti, kemungkinan nanti tidak akan bisa fokus liburan karena kepalanya tak bisa lepas memikirkan pekerjaan.
"Kamu sering diundang ke acara-acara seminar di kampus gitu, Mas?" tanya Sandra setelah keduanya selesai sarapan.
Saat ini Danny dan Sandra sudah berpindah tempat dari ruang makan ke living room. Mereka bersantai sambil menonton acara acak di TV karena keduanya tidak ada kegiatan khusus di akhir pekan—yang sedang gerimis. Memasuki bulan April, masih belum ada tanda-tanda musim hujan akan usai.
"Kalau undangan buat ngisi seminar sih banyak. Kebanyakan biasanya undangan dari junior di kampus. Tapi saya jarang ambil kalau acaranya di hari kerja."
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDROOM WARFARE
PoetryFOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA^^ (18+ only) "Gimana kalo kita tidur bareng aja?" (Sandra Javinkha) "Kamu serius ngajak saya ML? Memangnya kamu nggak takut partner sex kamu punya penyakit kelamin?" (Danny El Arkan) °°° Arisan membawa petaka! Mengisahkan...