BAB 20. Ungkapan Perasaan

2.1K 247 13
                                    

"Tadi malam, waktu nyamperin saya ke kelab, kamu pakai baju apa?" tanya Sandra tanpa menatap Danny.

Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sandra bersenandung kecil mengikuti alunan lagu dati radio yang menyala sambil mengecek ponselnya. Ada berpuluh panggilan tak terjawab dari Farida. Beratus pesan yang masuk dari grup, sepuluh pesan dari Farida, enam pesan dari Danny, dan yang membuat kepala Sandra menegak dan langsung menoleh ke arah Danny yang sedang menyetir adalah rentetan pesan 'sampah' dari Erika dan Rena yang membawa-bawa nama Danny. Sandra mengurut pelipisnya sambil mengumpat pelan. Bahkan Erika yang kalem saja sampai memuji Danny hingga berlebihan.

Danny menoleh sebentar ke arah Sandra, melemparkan tatapan heran. "Kenapa?"

"Jawab aja."

"Saya baru dalam perjalanan pulang abis makan malam dengan keluarga saya. Fine dining di restoran. Jadi pakai pakaian yang cukup formal," jelas Danny.

"Pakai jas?"

"Iya. Kenapa, sih?"

Sandra menggeleng. "Oh, oke. Nggak papa."

Danny menyetir dengan tenang bahkan saat menyalip beberapa mobil di depannya.

"Kamu nggak mungkin cuma iseng nanya. Kenapa, Sandra?" desak Danny.

Sandra cukup lama terdiam sebelum berkata lagi, "Semalam, waktu di kelab, kamu ketemu sama temen saya, kan?"

"Iya. Kenapa?"

Empat kali Danny melontarkan pertanyaan 'kenapa' dan itu membuat Sandra tidak tahan untuk tidak memutar bola mata.

"Nggak papa. Rena sama Erika bilang makasih karena kamu udah jagain saya," jawab Sandra dengan tatapan mengarah keluar jendela.

"Saya nggak yakin itu jawaban jujur. Mereka ngomongin saya yang enggak-enggak, ya?" tebak Danny. Matanya memicing curiga.

Sandra tertawa kering. "Nggak mungkinlah. Nggak sopan banget ngomongin orang," elaknya.

Wanita itu kemudian membuang muka dan pura-pura asyik dengan pemandangan yang terlihat dari balik kaca mobil.

"Oh, kalau gitu saya mau lihat sendiri, mereka bilang apa tentang saya," jawab Danny agak memaksa.

"Udah dibilangin mereka cuma bilang makasih. They're my best friends, jadi waktu tahu saya udah aman sama kamu, mereka lega."

Mendengar jawaban itu, Danny tertawa.

"Kalau kalian memang best friends, seharusnya mereka sendiri yang akan bawa kamu pulang dengan selamat, bukannya malah membiarkan kamu sama saya, Sandra."

Saat mobil mereka terhenti karena tepat mendapat lampu merah, Danny memutar badan untuk menghadap ke arah Sandra dan menengadahkan telapak tangannya.

"Mana, saya mau lihat," todong Danny.

"No."

Sandra menghindar dan menjauhkan ponselnya dari Danny. Mendekapnya di dada seolah-olah benda itu amat sangat berharga.

Danny bergeming pada posisinya. "Saya cuma mau baca ucapan terima kasih teman kamu secara langsung. Saya janji nggak akan baca yang lain."

"Saya bacain aja," kata Sandra bersikukuh.

"Nggak bisa. Saya mau baca sendiri." Danny menggerakkan jari tangannya, meminta Sandra untuk segera menyerahkan ponselnya. "Cepetan, Sandra. Keburu lampu hijau."

"Nggak usah, Dan. Nggak penting."

"Penting buat saya," geram Danny. "Saya nggak akan berhenti ganggu kamu sebelum kamu kasih lihat isi chat kamu sama teman-teman kamu."

BEDROOM WARFARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang