BAB 9. Arisan Membawa Petaka

2.1K 240 10
                                    

"Nanti temani Mama arisan mau nggak?"

Farida muncul dari balik pintu kamar Sandra, masih berbalut daster bunga-bunga berwarna kuning yang sudah kotor terkena noda tepung di beberapa bagian.
Arisan lagi! Rasanya baru kemarin Sandra hampir kena serangan jantung karena kedatangan tamu yang tidak ia sangka-sangka saat acara arisan di rumahnya. Meski sudah lewat satu bulan lebih sejak hari itu, Sandra malas jika harus melewati peristiwa horor itu lagi. Gara-gara arisan, Sandra makin sering bertemu dengan Danny. Benar-benar tak terhindarkan dan itu membuat Sandra jengah.

"Di mana, Mam?" tanya Sandra dengan suara serak. Ia masih nyaman bergelung di balik selimut di atas tempat tidur.

"Di rumah Bu Mutia," jawab Farida.

Bahu Sandra langsung menegang di balik selimut.

Sial!

Walaupun mamanya terlihat santai-santai saja rupanya masih belum mau menyerah untuk membuat dirinya semakin dekat dengan Danny.

Sejujurnya Sandra masih tidak punya muka untuk bertemu dengan Danny-yang kemungkinan akan ada di rumah Bu Mutia-setelah pernyataan 'saya takut jatuh cinta sama kamu' yang Sandra ucapkan tanpa berpikir.

Ah, sebenarnya tidak begitu.

Sandra sudah berpikir banyak tentang hal, tetapi luput memikirkan konsekuensi setelahnya. Tidak ada gunanya menyesal. Kalimat itu sudah terucap dan Sandra tahu betul bahwa Danny masih akan merong-rongnya sampai laki-laki itu mendapat jawaban yang memuaskan.

Danny mungkin biasa-biasa saja. Atau bisa saja dia tidak biasa-biasa saja, tetapi tertutupi dengan ekspresi datarnya. Rumit sekali.

Sandra menghempaskan selimut dengan menjejakkan kaki lalu terduduk dengan bahu terkulai. Rencana untuk tidur hingga siang hanya tinggal wacana. "Aku antar aja, ya, tapi nanti aku tinggal. Kalau udah mau selesai aku jemput lagi. Gimana?"

"Ah, kalau kayak gitu Mama mending naik taksi aja," tolak sang ibu. Wanita itu bertolak pinggang sambil menatap anak semata wayangnya dengan kesal.

"Mama, kan, udah tahu kalau aku nggak terlalu suka ikut arisan. Rasanya canggung berhadapan sama teman-teman Mama. Nanti aku pasti nyapa Bu Mutia dulu, kok, sebelum pergi. Gimana, Ma? Gitu aja nggak papa, ya, Ma, please," mohon Sandra dengan menyatukan kedua telapak tangan di dada.

Sandra sebenarnya malas melakukan tawar menawar dengan ibunya yang mana sangat keras kepala. Kekeras kepalaan yang juga menurun pada Sandra.

"Nggak. Mama maunya kamu ikut. Kamu nggak perlu gabung sama ibu-ibu yang lain. Danny di rumah, kok. Nanti biar kamu ditemani Danny. Ngobrol sama dia. Mama lihat kemarin kamu bisa akrab gitu waktu dia ke rumah. Tadi Jeng Mutia udah bilang kalau Danny lagi ada di rumah dan nggak mau ke mana-mana hari ini."

Itu memang udah direncanain sama kalian! Skenario yang super nggak kreatif! geram Sandra dalam hati. Sengaja tidak Sandra utarakan karena akan sia-sia saja berdebat dengan sang ibu. Menghabiskan tenaga! Mana belum sarapan pula.

"Ma, kemarin aku cuma menuruti permintaan Mama sama Bu Mutia buat nemenin Danny ngobrol. Nggak lebih dari itu."

"Kalau gitu sekarang kamu turuti permintaan Mama lagi, bisa kan? Masa kamu tega nolak permintaan Mama?"

Sandra menelungkupkan wajah di antara kakinya lalu menggeram gemas. Ia baru saja salah bicara dan membuat ibunya semakin berulah. Bagaimana dia bisa menolak kalau ibunya memasang ekspresi yang penuh pengharapan? Sangat sulit menolak karena Sandra tidak tegaan.

Setelah meredakan sedikit kekesalan di dalam hatinya terhadap Farida, Sandra menegakkan punggung dan dengan pasrah menatap sang ibu. "Aku temani Mama, tapi ini yang terakhir." Helaan napas keluar dari bibir Sandra sebelum kemudian melanjutkan, "Ini yang terakhir Mama minta aku buat pedekate dengan Danny atau laki-laki mana pun. Pokoknya nggak ada lagi lain kali."

BEDROOM WARFARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang