BAB 44. Go Public

1.2K 132 2
                                    

Sandra menyerahkan sebuah undangan berwarna cokelat dengan aksen pita yang mempercantik desain dari undangan itu kepada Danny yang baru saja menjatuhkan tubuh di sofa

"Ini apa?" tanya Danny bingung.

"Buka aja."

"Undangan pernikahannya Kemal," gumam Danny setelah membaca nama yang tertera di undangan dan tanggal pernikahan digelar.

"Hari Minggu besok? Kenapa baru kasih tahu sekarang? Kamu ini kebiasaan," protes laki-laki itu.

Namun, seolah tak mendengarkan protes dari Danny, Sandra berkata, "Kamu mau datang sama aku, kan, Mas? Atau aku boleh datang sama orang lain?"

Danny memandang Sandra dengan tatapan malas. Sebelum menyahuti, Danny mengistirahatkan tubuh dengan bersandar malas di punggung sofa.

"Memangnya kamu mau pergi sama siapa lagi kalau bukan sama saya, Sandra? Selain saya, nggak akan ada yang mau diajak pergi dadakan begini."

Ya, benar sekali! Pertanyaan Sandra tadi sungguh tak masuk di akal. Sejujurnya Sandra hanya mengetes saja. Ia mengharapkan jawab selain yang baru saja diucapkan Danny dengan kalimat yang lebih dari itu. Danny biasanya agak-agak posesif kalau Sandra sudah mulai memancing-mancing ke arah yang tidak terlalu disukai laki-laki itu. Yaitu dengan membawa-bawa 'orang lain' ke dalam obrolan. Namun, Danny ternyata punya jawaban yang tak bisa dibantah.

Sandra pun tak berusaha untuk menggoda Danny lebih lanjut karena sudah langsung gagal di awal.

"Berarti kamu udah siap diberondong pertanyaan sama temen-temen kerjaku?"

Danny mengendikkan bahu. "Saya nggak pernah bilang kalau saya nggak siap. Kamu yang stres sendiri."

Sandra berkacak pinggang. Ia menatap Danny dari posisinya berdiri dengan tatapan menilai. "Ck, masalahnya mereka tuh cerewet abis, Mas. Mereka juga kalau ngomong suka blak-blakan gitu."

"Kalau dibandingkan dengan Rena?" tanya Danny.

Laki-laki itu masih tampak biasa-biasa saja. Tidak ada gurat kekhawatiran yang terpoles di wajah seperti yang ditampilkan wajah Sandra saat ini.

"Sebelah dua belas miripnya."

"Nggak masalah," jawab Danny. Masih dengan nada tenang yang mematikan. "Yang paling sulit buat saya itu waktu saya harus menghadapi mama kamu dan keluarga kamu. Kalau cuma teman kantor, it's easy to handle."

Sandra manggut-manggut. Jawaban Danny itu berhasil mengurangi kecemasan yang tiba-tiba menyergapnya sejak ia sadar kalau membawa Danny ke resepsi pernikahan Kemal itu artinya Sandra sudah siap go public dan dicecar teman-temannya dengan berbagai pertanyaan. Seharusnya, ia memnag tidak perlu khawatir akan reaksi apa pun yang menyambutnya esok hari. Ia hanya perlu bersikap seperti biasa. Dengan Danny berada di sisinya, jelas semua akan baik-baik saja. Seperti yang Danny katakan tadi. It's easy to handle.

"Kayaknya kita butuh belanja, deh, Mas." Sandra mengalihkan pembicaraan dan ia pun melesakkan tubuh di sofa tepat di samping Danny.

Mata Danny menyipit. Ia melirik Sandar sekilas lalu memejamkan mata. Tampak sekali raut kelelahan yang membayangi wajahnya.

 "Kita? Maksudnya kamu yang butuh belanja?"

Sandra terkekeh. "Nanti kamu juga pasti ada yang mau dibeli."

Danny langsung menyanggah, "Saya lagi nggak mau beli apa-apa, jadi saya juga nggak mau pergi ke mana-mana."

"Terus aku pergi sendiri?" Sandra bertanya dengan nada melas yang dibuat-buat.

Danny mengurut pelipis seraya menjawab, "Sandra, saya baru sampai di sini belum ada lima menit. Etikanya kamu suguhi tamu kamu minuman atau setidaknya ditanya dulu kabarnya. Bukan malah langsung diajak pergi lagi."

BEDROOM WARFARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang