Pernah merasa gundah dan gelisah hingga perasaan tercampur aduk tetapi tak tahu apa penyebabnya? Itu yang sedang Sandra rasakan saat ini. Lebih tepatnya sejak bangun tidur subuh tadi.
Sandra mengabaikan rasa yang tak mengenakkan itu dan turun dari atas tempat tidur untuk menuju kamar mandi sebelum menunaikan salat subuh−setelah menikah dengan Danny, perlahan-lahan Sandra mulai memperbaiki diri, berusaha agar ibadahnya tak lagi bolong-bolong–menyusul Danny yang sudah lebih dulu bangun dan sedang mengambil wudhu.
Selepas salat, tak seperti di pagi-pagi biasanya, Sandra yang biasanya bergegas membuat sarapan, kali ini ia melakukan hal lain. Wanita itu terlebih dahulu mengepak barang-barang yang dibutuhkan oleh Danny untuk dibawa ke Malang selama dua hari. Sedangkan rutinitas pagi Danny tetap sama seoerti biasanya, selepas salat ia langsung mandi.
Tepat saat Danny keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang airnya menetes-netes ke bahu bidangnya dan jatuh bebas ke lantai, Sandra selesai mengepak dalam koper berukuran sedang yang memuat baju-baju Danny.
"Mas, kalo udah sampe di hotel, kemeja yang mau dipake buat seminar nanti langsung dikeluarin dari koper, digantung aja biar nggak kusut. Kamu kebiasaan berantakin isi lemari, pasti nggak ada bedanya, kamu pasti bakal berantakin isi koper juga. Kemejanya udah aku setrika sih, tapi kalo ada nanti pinjem setrika uap ke pihak hotelnya. Minta tolong pegawai hotel juga nggak papa kalo kamu repot. Tiket pesawat aku taruh di tas kerja kamu sekalian dompet sama hape. Masih ada yang perlu dibawa? Kali aja aku lupa."
Danny duduk di kursi bundar milik Sandra yang berada di depan maja rias, memperhatikan sang istri melipat selimut, merapikan bantal dan menata tempat tidur yang tadinya berantakan menjadi kembali rapi, seraya mengoceh panjang lebar tentang apa-apa yang wajib Danny lakukan sesampainya di hotel. Danny sudah bertahun-tahun hidup sendiri, dan diperhatikan oleh istri membuat dadanya menghangat.
"Kamu denger aku ngomong atau enggak, sih, Mas?" tegur Sandra yang sudah selesai dengan kegiatannya merapikan tempat tidur.
Wanita itu berkacak pinggang, menatap Danny dengan mata yang hampir melotot lebar.
"Dengar, Sandra. Nggak ada yang ketinggalan. Saya juga udah simpan semuanya di sini," jawab Danny menunjuk pelipisnya.
Sandra mengangguk-angguk. Tak membahas lebih lanjut meski ia tahu bahwa Danny jelas-jelas tidak sepenuhnya mendengarkan perkataannya.
"Nggak usah jajan makanan yang aneh-aneh. Nggak usah main ke tempat yang aneh-aneh juga."
"Iya, Sandra. Saya nggak ada waktu untuk itu. Setelah ngisi seminar, saya ada janji temu dengan beberapa dosen untuk membahas pendirian yayasan untuk menampung wanita-wanita para penyintas kekerasan seksual dan KDRT. Di hari kedua saya mau ketemu teman lama. Setelah itu saya bebas. Tinggal nunggu kamu aja."
Semalam Danny sudah membeberkan jadwalnya saat berada di Malang dengan detail karena istrinya meminta, tetapi pagi ini, demi membuat Sandra berhenti memberikan wejangan-wejangan panjangnya−akan memakan waktu lama hingga Sandra benar-benar selesai−maka mau tak mau Danny jelaskan lagi. Bisa-bisa mereka berdua akan terlambat ke kantor kalau diteruskan.
"Ya udah, aku mandi dulu."
Sandra akhirnya berhenti juga. Beberapa detik tatapannya masih tertuju pada Danny, kemudian beralih melirik jam dinding.
"Pagi ini sarapan sereal aja nggak papa?"
Kepala Danny terangguk dua kali. "Nggak papa. Kalau gitu saya aja yang siapin."
Sandra bergumam tanda setuju lalu bergegas masuk ke kamar mandi.
***
"Kenapa dari tadi mukanya ditekuk?" tanya Danny saat keduanya duduk di meja makan. Ia sudah gatal ingin bertanya sejak Sandra selesai mengepak keperluannya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDROOM WARFARE
PoesiaFOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA^^ (18+ only) "Gimana kalo kita tidur bareng aja?" (Sandra Javinkha) "Kamu serius ngajak saya ML? Memangnya kamu nggak takut partner sex kamu punya penyakit kelamin?" (Danny El Arkan) °°° Arisan membawa petaka! Mengisahkan...