13. Trauma

510 48 4
                                    

“Trauma itu seperti selamat dari kecelakaan tapi cacat seumur hidup.”
.
.
.
—Author—
🌺🌺🌺

“Kenapa bu?” tanya Lastri khawatir.

“Ponselnya mati lagi, padahal saya belum tahu kabar Hunaf kayak gimana sekarang,” gerutu Rania.

“Tapi mereka baik-baik aja ‘kan bu?”

“Tadi Yanza bilang dia baik-baik aja tapi saya penasaran sama Hunaf, Yanza belum sempat bilang tadi keburu ponselnya mati,” jawab Rania.

“Kalau den Yanza baik-baik aja pasti non juga baik-baik aja bu, sangat tidak mungkin kalau den Yanza biarin non Hunaf terluka sedikitpun,” timpal Lastri.

“Semoga saja seperti itu, Lastri. Saya harapnya mereka baik-baik saja,” imbuh Rania.

🌺🌺🌺

“Bagaimana keadaannya dokter?” tanya Yanza ketika melihat dokter keluar dari ruang UGD. Wajah dokter itu sudah nampak redup, seperti sesuatu yang buruk sudah terjadi.

“Sebelumnya saya minta maaf, kandungan istri bapak tidak bisa kami selamatkan,” jelas sang dokter membuat Yanza terdiam. “Saya turut prihatin atas apa yang menimpanya. Kamu harus kuat, dia sebentar lagi akan sadar. Pastinya dia butuh dukungan dari orang terdekatnya. Kalau begitu saya permisi.” Dokter itu berjalan meninggalkan Yanza sendiri.

“Dia keguguran, lalu apa yang harus saya lakukan?” Yanza nampak bingung. Ia berjalan keluar dari sana menuju mobilnya, ia harus memastikan sesuatu sekarang.

Dengan tergesa-gesa, Yanza masuk ke dalam mobilnya. Setelah kecelakaan, ia meminta supirnya untuk datang dan membawa dua mobil, yang satu untuknya dan yang satu lagi untuk supir itu gunakan buat pulang karena Yanza masih harus berada dirumah sakit.

“Kamu nggak papa?” tanya Yanza begitu khawatir.

“Mas!” Hunaf langsung berhamburan memeluk sang suami. Tubuhnya bergetar hebat, tangisnya pecah saat itu juga. Bayangan seorang wanita tertabrak didepannya masih tergiang dikepalanya. Seolah itu masih terasa begitu nyata, ia seperti melihat dirinya yang tertabrak seperti itu.

“Tidak papa, saya ada di sini. Kamu tidak perlu khawatir,” ucap Yanza menenangkan istrinya. Pelukan perempuan itu sangat erat, tubuh sang istri yang bergetar dapat Yanza rasakan dalam pelukannya.

“A-aku takut mas,” lirihnya.

“Saya ada di sini, kamu tidak perlu takut.” Tangan Yanza mengusap punggung Hunaf, berharap kalau itu bisa membuatnya sedikit tenang dan meredakan tangisnya.

“Dia berdarah mas, aku takut kalau dia kenapa-napa nanti,” ucapnya.

“Udah nggak usah kamu pikirkan, itu biar jadi urusan saya. Kamu jangan mikirin apa-apa dulu,” timpal Yanza.

“Aku mau liat dia mas,” pinta Hunaf lalu menatap wajah sang suami.

“Emang sanggup, udah nggak usah dilihat nanti kamu malah makin ke pikiran lagi,” ujar Yanza.

“Aku nggak papa mas, aku pengen lihat dia. Takutnya dia kenapa-napa, tadi dokter bilang apa sama kamu?”

“Kata dokter tadi wanita itu keguguran,” ceplos Yanza.

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang