29. Just a dream

472 39 10
                                    

“Menikahlah dengan orang yang mencintaimu bukan dengan orang yang kamu cintai.”
.
.
.
—Hunafah Zalika—
🌺🌺🌺

Samar-samar Hunaf mendengar suara yang begitu familiar, sebenarnya ia masih enggan untuk membuka mata tapi rasa penasaran memenuhi pikirannya. Hatinya seolah bertanya, maka dari itu ia memaksa untuk membuka matanya untuk melihat sekitarnya.

“Bunda,” lirih Hunaf. Orang pertama yang ia temukan adalah bundanya yang kini duduk tepat disebelah kanannya.

Hanif menoleh dengan cepat ketika mendengar suara Hunaf yang memanggilnya. Raut bahagia tercetak diwajahnya ketika melihat sang putri sudah tersadar.

“Alhamdulillah, kamu udah sadar,” ucap Hanif bernafas lega.

“Emangnya aku kenapa bun?” tanya Hunaf berusaha untuk bangkit tapi kepalanya terasa berat membuatnya kembali berbaring.

“Kamu itu tadi pingsan di depan rumah bunda, untung aja bunda cepat keluar karena mau buang sampah kalau nggak bunda nggak tahu lagi gimana keadaan kamu tadi,” jelas Hanif sambil membantu Hunaf kembali berbaring.

“Aku? Pingsan? Dirumah bunda?” Hunaf nampak bingung mendengar penjelasan bundanya, bukannya tadi dia sudah sampai dirumah bundanya dan mengobrol bersama perihal Yanza. Lalu kenapa bisa ia tiba-tiba pingsan di depan rumah bundanya.

“Iya, kamu tadi pingsan. Untungnya bunda cepat keluar, lagian kamu kenapa bisa pingsan diluar sih. Kalau ada apa-apa kan bisa nelfon bunda biar bunda jemput,” ucap Hanif.

“Tapi bunda, aku tadi itu cu....” Hunaf belum melanjutkan ucapannya, ia mengedarkan pandangan terlebih dahulunya. Tempat sekarang ia berada terasa asing, tidak seperti rumahnya ataupun rumah bundanya, lalu dimana sekarang?

“Kita dimana sekarang, bun?” tanya Hunaf.

“Dirumah sakit,” jawab Hanif.

Kening Hunaf berkerut. “Rumah sakit? Kita ngapain dirumah sakit?”

“Tadi ‘kan kamu pingsan, bunda takut kamu kenapa-kenapa jadinya bunda bawa kamu ke sini deh,” jawab Hanif.

“Sekarang aku udah sadar, kita pulang aja yuk bun. Aku nggak mau lama-lama di sini, baunya nggak enak. Aku pengen muntah rasanya,” rengek Hunaf menarik lengan Hanif agar mau pulang bersamanya.

“Nggak bisa, kamu harus dirawat dulu kata dokternya. Kamu itu kekurangan banyak gizinya, jarang makan nih pasti. Kenapa sih? Nggak ada beras, kalau nggak ada bisa pinjam ke bunda asal jangan sampai nggak makan kayak gini apalagi ini menyangkut cucu pertama bunda, pola makan kamu harus diperha---”

“Maksud bunda cucu pertama apaan?” tanya Hunaf belum mengerti arah pembicaraan bundanya.

“Astaghfirullah! Kamu nggak sadar kalau lagi hamil?” Hunaf melotot mendengar pertanyaan bundanya, apa katanya tadi? Dirinya hamil?

“Aku? Hamil?” Hunaf menunjuk diri sendiri sambil bertanya dengan raut kaget. Tangannya mendarat di perut rata miliknya, ada perasaan berbeda dalam diri Hunaf setelah mendengar itu.

“Iya sayang, selamat ya. Akhirnya kamu hamil juga, udah lama bunda nunggu kabar ini dari kalian dan akhirnya kesampean juga,” girang Hanif memeluk erat tubuh Hunaf yang masih kaget.

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang