27. Divided two

482 41 20
                                        

"Sabar itu tanpa batas kalau ada batasannya itu jembatan."
.
.
.
—Author—
🌺🌺🌺

"Mas!" Hunaf tersenyum begitu lebar ketika melihat sang suami muncul di ambang pintu rumahnya. Ia dengan cepat berlari ke arah laki-laki itu lalu memeluk erat tubuhnya. Rasa rindu dan bahagianya sudah bercampur aduk, ia kini bisa merasa lega ketika melihat laki-laki yang sudah tiga hari tak memberinya kabar.

"Aku kangen banget sama kamu mas," ucapnya dengan nada manja. Untuk pertama kalinya ia seperti itu, biasanya kalau ditinggal oleh orang tuanya keluar kota ia tak seperti ini jika bertemu.

"Kamu kenapa akhir-akhir ini nggak kasih kabar sama aku, mas? Aku khawatir tahu nggak sama kamu?" Hunaf mendongak ke atas untuk melihat wajah sang suami yang hanya diam saja sedari ia datang.

"Kok kamu diam aja? Ada masalah sama pekerjaan kamu?" Yanza masih tetap diam saja, ia hanya menatap Hunaf yang menatapnya.

Tak mendapatkan jawaban, Hunaf melepaskan pelukannya lalu mundur beberapa langkah. Matanya tak ia alihkan dari suaminya, ia menatap Yanza mulai dari atas sampai bawah. Hunaf jadi bingung sendiri melihat suaminya yang seperti itu.

"Mas, kamu kenapa sih? Jangan bikin aku takut deh," ucap Hunaf mulai was-was sendiri.

"Mas ngomong dong? Jangan diam, aku takut. Kamu masih bisa ngomong 'kan? Nggak mungkin abis pulang dari luar kota kamu langsung jadi bisu?" Tak ada respon sama sekali, Yanza hanya menatap Hunaf tanpa ekspresi.

"Mas!"

"Mas minta maaf, sayang." Hunaf mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Yanza seperti itu.

"Minta maaf? Emang mas lakuin kesalahan apa sampai harus minta maaf segala?" Hunaf sangat bingung dengan Yanza yang tiba-tiba minta maaf padanya.

"Mas minta maaf sama kamu, mas tahu mas salah jadi mas mau minta maaf sekarang," ucap Yanza lirih lalu berjongkok di depan Hunaf yang masih sangat bingung.

"Minta maaf? Salah? Ini sebenarnya ada apa sih mas? Jangan bikin aku bingung deh, yang jelas dong ngomongnya biar aku ngerti." Hunaf berusaha tetap tenang meskipun hati dan pikirannya sudah di penuhi oleh banyak kemungkinan negatif.

"Mas mi---"

"Mas Rayyan ini koper Elisa mau taruh dimana?" Seorang wanita muncul dibelakang Yanza dengan menenteng koper besarnya sedikit kesusahan.

Hunaf menatap wanita bernama Elisa itu dengan seksama, siapa wanita ini? Kenapa kelihatannya begitu dekat dengan suaminya. Hunaf lalu beralih menatap sang suaminya, laki-laki itu hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Elisa yang baru muncul.

"Mas Rayyan bantuin Elisa dong, ini kopernya berat banget." Hunaf masih memperhatikan keduanya dengan seksama, terutama Yanza.

"Kamu siapa?" Elisa bertanya karena dia baru menyadari kehadiran Hunaf di depan sana.

"Kamu nanya saya siapa? Seharusnya saya yang nanya, kamu itu siapa? Kenapa kamu pulang bersama suami saya?" Elisa tersenyum seperti sudah mengerti siapa Hunaf sebenarnya.

"Mau aku yang jelasin atau kamu aja, mas?" tanya Elisa menatap Yanza dan Hunaf secara bergantian.

Yanza hanya diam saja berbeda dengan Hunaf yang menampakkan raut wajah bingung, tidak mengerti dan penuh tanya sekaligus.

"Maksud kamu apa? Mas, ini sebenarnya ada apa sih? Jangan diam dong, jelasin sama aku siapa wanita ini?" Suara Hunaf terdengar sangat menuntut penjelasan dari Yanza tapi sepertinya sang empu tidak bereaksi sama sekali atas pertanyaan itu.

"Maksudnya itu saya sam---"

"Jauhkan tangan kamu dari suami saya," ketus Hunaf lalu mendorong Elisa menjauh dari Yanza, beraninya dia menyentuh suaminya.

Elisa tertawa. "Suami kamu? Hello, dia juga suami saya. Suami kita lebih tepatnya, paham?" Hunaf nampak syok, ia menatap Yanza meminta penjelasan atas ucapan Elisa.

"Mas." Hunaf masih senantiasa menunggu jawaban dari Yanza sendiri dan ia berharap jika itu tidak benar.

"Lihat, dia diam saja bukan? Itu membuktikan kalau ucapan saya benar," sahut Elisa.

"Diam kamu wanita murahan!" marah Hunaf, untuk pertama kalinya ia mengumpat dengan kata-kata kasar pada orang lain.

"Wanita murahan? Nyonya Hunafah, dengar ini baik-baik ya. Murahan itu hanya untuk mereka yang menjadi simpanan sedangkan saya ini sudah jadi istri sah! Istri sah! Posisi kita sama, sama-sama istri sah," ujar Elisa membuat emosi Hunaf memuncak.

"Menjadi istri sah tidak akan merubah posisi kamu sebagai wanita murahan. Tidak ada wanita baik-baik yang menggoda suami orang, jika dia baik, dia akan sadar diri akan posisinya bukan malah bangga," balas Hunaf penuh emosi. Tanpa berbicara lagi, Hunaf meninggalkan Yanza dan Elisa di sana.

🌺🌺🌺

"Hunaf," panggil Yanza di depan pintu kamar mereka. Meskipun terdengar jelas, Hunaf sama sekali tak mau menyahuti. Hatinya terasa amat sakit ketika mengetahui kenyataan bahwa suaminya pulang bersama wanita lain yang berstatus sebagai istrinya.

"Mas minta maaf sayang, ini tidak seperti yang kamu kira. Mas bisa jelasin sama kamu, tolong buka dulu pintunya." Hunaf tak bergerak sama sekali dari tempat duduknya.

"Hunaf, sayang."

Mendengar suara lirih Yanza membuat Hunaf merasa semakin sakit. Orang yang sangat ia percaya kini memberinya luka yang teramat menyakitkan, dulu ia sudah berjanji tapi sekarang janji itu sudah tidak berlaku lagi. Janjinya sudah ia ingkari, lalu apa lagi sekarang?

"Rasanya sakit sekali, mas. Kenapa kamu tega sama aku," lirih Hunaf.

Hunaf merasakan kepalanya begitu berat, mungkin efek karena dia terlalu banyak menangis. Ia memegangi kepalanya, pandangan matanya terasa buram lalu setelah itu ia kehilangan kesadarannya.

🌺🌺🌺
Bersambung

Partnya pendek, maaf ya😊

Jangan lupa vote, komen dan follow;))

See you 😎

19 Juli 2022, Nusa Tenggara Barat

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang