12. Bahagianya sederhana

514 48 4
                                    

“Bahagia itu sangat sederhana, misalnya ketika Allah menakdirkan kita untuk bersama.”
.
.
.
—Rayyanza Al-ghifari—
🌺🌺🌺

Sudah tiga hari lamanya Hunaf dan Yanza berasa di Paris, Perancis. Dan, hari ini mereka memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebenarnya mamahnya meminta mereka untuk lama berada di sini tapi kasihan juga dengan wanita itu yang harus mengurus dua perusahaan sekaligus. Akhirnya mereka memutuskan untuk balik saja.

“Gimana? Udah siap?” tanya Yanza. Ia memperhatikan sang istri yang sudah berdiri disamping kanannya.

“Siap!”

“Kita nggak usah kasih tahu mamah, kalau dia tahu, pasti kita diminta buat di sini dan nggak boleh pulang sebelum cucunya jadi. Emang kalau dibikin langsung jadi apa, proses dulu kali. Lagian nggak cukup sekali dua kali, berkali-kali baru jadinya,” celetuk Yanza. Hunaf hanya diam, pikirannya melayang pada beberapa waktu lalu. Untuk pertama kalinya sang suami menyatakan cinta padanya setelah beberapa waktu pernikahan mereka.

“Terserah kamu aja deh, mas. Lagian dirumah juga bisa, ngapain jauh-jauh ke sini. Mending uangnya disumbang buat kegiatan amal dan panti asuhan. Pasti banyak orang yang lebih butuh uang diluar sana, nanti kalau udah nyampe Indonesia, kamu nemenin aku ke panti asuhan ya. Udah lama aku nggak ketemu sama anak panti,” ucap Hunaf.

“Baiklah istriku.”

“Yaudah, kita berangkat sekarang. Takutnya ketinggalan pesawat lagi. Indonesia, i'm cooming!!” Yanza yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng.

🌺🌺🌺

“Akhirnya sampai juga dinegara tercinta,” ucap Hunaf nampak bahagia. Ia berjalan keluar dari bandara diikuti oleh sang suami dari belakang. “Nggak nyangka, baru sebentar keluar negeri udah kangen aja sama Indonesia.”

Hunaf terus saja berjalan, ia bahkan tak sadar kalau sekarang dirinya sudah berada dipinggir jalan raya. Matanya menatap ke sekitarnya.

“Munduran dikit, Naf. Takutnya ada kendaraan yang lewat.” Yanza yang sibuk menelpon masih sempat memperingati sang istri agar mundur sedikit supaya tidak berada dipinggir jalan raya. Hunaf hanya mengangguk, tapi tak sekalipun ia bergerak mundur sesuai perintah Yanza, posisinya masih seperti semula.

“Kok jadi laper ya,” gumam Hunaf. “Kalau makan dulu sebelum pulang nggak papa kali ya,” imbuhnya. Hunaf mengedarkan pandangan untuk mencari tempat makan disekitarnya. Hingga pandangannya tertuju pada sebuah restoran yang tak jauh di depan sana.

“Mas, ayo kita kesana, aku laper mas!” ajak Hunaf pada sang suami. Laki-laki itu masih sibuk menelpon, mungkin itu dari perusahaan karena sudah tiga hari ia tinggalkan. “Mas ayo!”

“Oke, nanti malam kamu kirim ke email saya biar saya periksa. Jangan lupa juga kabarkan sama yang lain, besok pagi kita akan rapat mengenai proyek tersebut.” Yanza masih sibuk berbicara pada ponselnya.

“Mas ayo!” ajak Hunaf lagi, kali ini dia tidak diam saja. Tangannya mulai menarik lengan laki-laki itu agar ikut bersamanya.

“Sebentar sayang, ini mas lagi telfonan sama orang kantor,” timpal Yanza menahan tangan Hunaf yang menarik lengannya.

“Ah, lama kamu mah!” Hunaf melepaskan lengan Yanza yang ia tarik, ia kemudian berjalan lebih dulu tanpa menunggu Yanza. Ia tak bisa untuk menunggu laki-laki itu lagi, dirinya merasa sangat lapar sekarang.

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang