38. Cinta terakhir [END]

966 36 5
                                    

“Ragaku mungkin kesepian karena kepergianmu tapi hatiku tersenyum lega karena menjadi cinta terakhirmu.”
.
.
.
—Hunafah Zalika—
🌺🌺🌺

Mulai hari ini dan seterusnya, saya yang akan jadi tempat kamu untuk berbagi suka dan duka. Jangan pernah merasa sendiri, saya akan selalu berada disamping kamu dan selalu menggenggam tangan kamu untuk selamanya.”

“Tetaplah disamping saya untuk selamanya.”

“Kamu bohong mas,” lirih Hunaf. Ia kembali merasakan sesak didadanya.

“Kamu minta aku untuk tetap disamping kamu tapi kenapa justru kamu yang ninggalin aku sekarang,” racaunya.

“Aku harus cerita sama siapa nanti kalau bunda sama ayah sibuk.”

“Terus siapa yang bantu aku buat ngurus anak kita nantinya kalau kamu nggak ada?”

“Kamu pembohong mas,” gumamnya lirih. “Aku benci sama kamu, mas.”

Hunaf melihat ke arah tangannya yang diinfus, entah apa yang ia pikirkan sekarang. Kedua orang tuanya sedang berada di kantor polisi untuk mengurus masalah mobilnya sedangkan Denis baru saja keluar hendak ke toilet dan Kevin keluar untuk mencari makanan untuknya.

“Buat apa aku hidup kalau nggak ada kamu, mas?” Suara Hunaf terdengar begitu lirih menatap tangannya.

Tangan kanannya melepaskan selang infus yang menempel ditangan kirinya. Perlahan, jarum infus tadi ia goreskan tepat dibagian nadinya hingga mengeluarkan darah.

Hunaf mengusap perut ratanya sambil berkata. “Maafin bunda ya nak, karena harus membawa kamu ikut bersama bunda.”

Tangan Hunaf banyak mengeluarkan darah bahkan tempat tidurnya yang berwarna putih itu sudah dipenuhi oleh noda darah dari tangannya.

“Rasa sakitnya tidak sebanding dengan kehilangan kamu mas,” gumamnya masih menggores tangannya sendiri.

“Astaghfirullah!!” kaget seorang suster yang baru masuk ke dalam ruang rawat Hunaf ketika melihat darah yang berceceran mengenai tempat tidurnya. Dengan cepat suster itu menghampiri Hunaf dan menahan tangannya agar tidak menggoreskan jarum infus itu lagi.

“Tolong jangan melukai diri kamu seperti ini, kamu kehilangan banyak darah. Kondisi kamu saja belum pulih, anak kamu bisa dalam bahaya kalau seperti ini terus.” Suster tadi menjauhkan Hunaf dari jarum infus dan juga benda-benda tajam lainnya.

“Tolong lepaskan saya suster, saya mau nyusul suami saya sekarang. Tolong lepaskan saya,” histeris Hunaf. Ia memberontak ketika ditenangkan oleh susternya.

“Tolong jangan seperti ini, pikirkan juga anak yang ada dalam kandungan kamu sekarang. Dia tidak bersalah apa-apa lalu bagaimana mungkin kamu dengan tega mengorbankan nyawa dia juga? Jika suamimu ada disini, apa dia akan senang melihat kamu seperti ini, tidak ‘kan?”

“Jangan berpikir pendek hanya karena kamu sedang kehilangan, banyak orang yang juga kehilangan diluar sana tapi mereka bisa untuk berpikir dewasa. Semua yang ada di dunia ini akan kembali kepada penciptanya kelak lalu apa yang perlu kamu sedihkan, kepergian? Kehilangan? Semua pernah merasakan kehilangan, semua pernah merasakan kesedihan. Bukan cuman kamu,” jelas suster yang masih memeluk Hunaf agar dia tenang.

Mendengar ucapan suster itu, Hunaf terdiam dengan perlahan. Tatapannya terlihat kosong, ia benar-benar merasa kehilangan suaminya.

“Kamu harus bisa mengikhlaskan suami kamu yang sudah kembali kepada Tuhannya, dunia berserta isinya ini milik Allah. Kapanpun dia mau, dia bisa mengambilnya kembali dan itu tidak perlu persetujuan dari kita yang hanya seorang hamba.”

“Maafin aku mas,” lirih Hunaf.

🌺🌺🌺

“Bagaimana om?”

“Ternyata ada orang yang memang dengan sengaja menyabotase rem mobil Hunaf. Pihak kantor sedang mencari rekaman scctv, rekamannya seolah hilang begitu saja saat kejadian itu. Sepertinya dia bukan orang sembarang dan motif dia tidak kita ketahui dengan jelas,” jawab Farhan.

Farhan dan istrinya baru kembali dari kantor polisi. Kasus ini belum bisa diproses lebih lanjut karena belum terdapat cukup bukti, pihak kepolisian sedang menyelidiki untuk mengumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu sebelum memprosesnya.

“Aku khawatir sama Hunaf, om. Tadi dia berusaha melukai dirinya sendiri untungnya ada suster yang masuk jadi bisa menghentikan aksinya yang menggores tangannya dengan jarum infus itu,” kata Denis khawatir.

“Astaghfirullah Hunaf,” lirih Hanif.

“Gimana keadaan dia sekarang?” tanya Farhan.

“Dia sekarang sudah istirahat, tadi suster sudah mengobati juga luka di tangannya.”

“Gimana ini mas?”

“Kamu tenang, kita berdoa saja untuk kesembuhan Hunaf dan semoga dia juga bisa tabah atas musibah ini,” jawab Farhan menenangkan istrinya.

“Aamiin ya Allah.”

“Aamiin.”

🌺🌺🌺

“Maafin aku mas,” lirih Hunaf menatap foto Yanza yang terdapat di galerinya. “Harusnya aku nurut sama kata-kata kamu, kalau aja aku nurut nggak akan kayak gini ceritanya. Kalau aja aku nurut pasti kamu masih ada di sini sama aku sekarang,” imbuh Hunaf sangat lirih.

“Aku emang nggak berguna jadi istri mas. Selalu aja ngerepotin kamu, keras kepala, aku bahkan ngecewain mamah sama papah.”

“Mamah sekarang pasti benci banget sama aku.”

Hunaf tidak bisa membayangkan sehancur apa mertuanya sekarang ketika harus kehilangan anaknya hanya karena kecerobohannya.

Andai dia jadi istrinya yang penurut pasti semuanya masih baik-baik aja sampai sekarang. Andai, sekarang ia hanya bisa berandai-andai dan berharap semuanya hanyalah mimpi tapi ini adalah kenyataannya.

“Aku janji akan menjaga dan merawat anak kita baik-baik mas. Aku janji sama kamu,” ucapnya sendu.

Hunaf kembali menutup matanya ketika melihat pintu hendak dibuka dari luar. Ternyata yang hendak membuka pintu itu adalah bundanya.

Perempuan itu berjalan dengan pelan menghampiri tempat tidur Hunaf karena melihat anaknya itu masih terlelap.

“Yang kuat ya nak, jadilah penyemangat untuk bunda kamu.” Hanif mengusap perut rata Hunaf seolah berbicara dengan calon cucunya agar dia bisa menjadi penyemangat dan penguat untuk sang ibunda.

“Kelak ketika kamu dewasa, kamu harus bisa menjadi pelindung bundamu dari apapun yang akan menyakitinya. Jadilah kuat nak karena bundamu itu rapuh,” katanya lagi.

Hunaf rasanya ingin menangis sambil memeluk bundanya sekarang tapi ia urungkan karena posisinya sedang pura-pura tidur.

“Bunda sayang sama kamu, tetaplah bertahan.” Hanif mencium kening putrinya cukup lama.

Masih banyak yang menyayanginya, bundanya, ayahnya dan juga kedua sepupunya serta keluarganya yang lain. Hunaf seharusnya tidak terlalu larut dalam kesedihan.

Aku juga sayang banget sama bunda.

🌺🌺🌺
Tamat...!!

Akhirnya tamat juga cerita gaje ini;))
Terima kasih karena telah mampir untuk sekedar membaca tanpa memberi vote.

Sampai juga dicerita author yang lainnya.

See you

Nusa Tenggara Barat, 28 September 2022.

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang