26. Brian Elgara

356 34 2
                                    

“Setiap detik itu sangat berharga. Jadi, jangan buang waktumu untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna.”
.
.
.
—With You—
🌺🌺🌺

“Mommy.” Hunaf begitu kaget ketika ada seorang anak kecil yang berlari ke arahnya lalu memanggilnya seperti itu. Ia lantas berjongkok menyamakan tingginya dengan bocah itu.

“Tante bukan mommy kamu sayang,” balas Hunaf lembut.

“No! Mommy pasti mommy-nya El, El tahu itu. Mommy jangan pergi lagi, El nggak mau kehilangan mommy lagi,” ucapnya lirih lalu tanpa Hunaf duga, dia langsung saja memeluk Hunaf dengan eratnya.

Hunaf tak bisa berkata-kata lagi, tangannya mengusap punggung anak kecil itu dengan lembut. Entah anak siapa itu yang tiba-tiba datang dan mengira dirinya adalah ibunya, lalu Hunaf harus bagaimana sekarang.

“Oke, anak ganteng. Kamu ke sini sama siapa?” tanya Hunaf setelah meleraikan pelukan mereka.

“Sama daddy,” jawabannya.

“Daddy? Dimana daddy mu?” Bocah itu menunjuk ke arah belakang Hunaf, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki yang begitu asing baginya.

“El ke sini, nak. Dia bukan mommy kamu,” panggil laki-laki itu pada El—anaknya tapi bocah itu justru menggeleng.

“No, dad. Dia mommy El,” tolak El.

“Dia bukan mommy kamu, sayang. Dia orang lain, kamu salah orang.” El tidak berpindah, dia justru memeluk erat Hunaf ketika daddynya ingin menariknya menjauh dari Hunaf.

“Sini, El. Kita harus pulang, omah pasti sudah menunggu kita sekarang,” ajaknya. El menggeleng tidak mau.

“El mau sama mommy, El nggak mau sama daddy. Kalau daddy mau pulang, pulang aja sendiri. El di sini aja,” bantah anak kecil itu. Terlihat laki-laki itu memijat pelipisnya frustasi dengan kelakuan anaknya.

“Ayok El kita harus pulang, nak. Jangan ganggu tantenya, dia bukan mommy kamu. Ayok,” ajak laki-laki itu pada putra kecilnya.

“El nggak mau!”

“Brian Elgara,” tegas laki-laki itu membuat sang anak langsung terdiam takut. Pelukannya pada Hunaf jadi tambah erat sampai-sampai Hunaf ikut menoleh pada anak kecil itu, ia bahkan merasa iba melihat wajahnya.

“Hiks.”

“Udah pak, biarin El tenang dulu. Nanti saya bantu bujuk supaya mau pulang sama bapak,” lerai Hunaf. Ia tak tega melihat El yang menangis.

“Maaf karena sudah merepotkan kamu, dia akhir-akhir ini sedang merindukan mendiang ibunya makannya seperti itu. Nama saya Arga kalau kamu?” Arga dengan cepat menyodorkan tangannya tapi Hunaf hanya membalas dengan menyatukan tangan di depan dadanya.

“Panggil saja Hunaf,” balas Hunaf. Kini ia fokus menatap El yang memeluknya erat. Tubuhnya sedikit bergetar akibat menahan tangisnya.

“Hei, anak ganteng mommy. Pulang sama daddy ya, lain kali kita bisa kok ketemu lagi. Sekarang El pulang dulu, nggak boleh bantah ucapan daddy. Kalau El mau jadi anak baik harus nurut sama daddy, terus nggak boleh cengeng. Masa iya jagoan cengeng sih,” bujuk Hunaf sembari mengusap air mata bocan itu.

“No, mom. Kalau El pulang pasti mommy akan pergi lagi, El nggak mau ditinggal sendiri mom. El mau sama mommy terus, El takut sendirian. El mau mommy, El sama daddy bersama lagi,” ucapnya membuat Hunaf hampir tersedak ludahnya sendiri.

“Sekarang kita jangan pikirin itu dulu oke, yang terpenting El harus pulang dulu. Lain kali kalau ketemu kita bisa bicarain itu, oke anak ganteng.” Pada awalnya El ingin menolak tapi saat ia melihat mata Hunaf lalu anggukkan kepalanya membuat El terpaksa setuju saja.

“Tapi mommy janji kalau kita bakal ketemu lagi ‘kan?” Hunaf mengangguk mantap lalu tersenyum manis.

I'm promise with you!” Jari kelingking keduanya sudah bertautan.

“Kalau gitu El pamit dulu ya, mommy. Assalamu'alaikum!” El berjalan menjauh bersama Arga—ayahnya. Tangan mungilnya berdadah-dadah ke arah Hunaf dengan gemasnya.

“Gemasnya anak orang,” gumam Hunaf, tanpa sengaja ia mengusap perutnya sendiri. “Ini Denis sama Kevin kemana sih? Jangan-jangan berantem di minimarket nih orang dua.”

Hunaf menghela nafas gusar, dua orang itu yang mengajaknya keluar jalan tapi malah mereka berdua yang meninggalkannya di sini sendirian. Kalau saja dia tidak sendirian di rumah karena Yanza sedang ada kerjaan diluar kota, dia tidak akan mau ikut bersama mereka berdua.

“Kalau bukan karena gue gabut dan dirumah cuman berdua doang sama Lily, gue nggak akan mau ikut mereka,” gerutu Hunaf kesal.

“Argh, awas aja loh dua curut!” geram Hunaf.

🌺🌺🌺

Hunaf memilih untuk pulang lebih dulu tanpa menunggu kedua saudara sepupunya, biarkan mereka mencari dirinya sampai ke ujung dunia.

Terhitung sudah seminggu lebih Yanza berada diluar kota untuk pekerjaannya, semenjak tiga hari yang lalu ia tak lagi menghubungi Hunaf sampai hari ini. Itu membuat Hunaf khawatir bagaimana kondisi laki-laki itu sekarang. Apakah dia sudah makan atau belum? Istirahat nya cukup atau tidak? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul dibenak Hunaf.

“Lama-lama sih bapak Yanza bisa jadi bang Toyib yang nggak pulang-pulang. Apa perlu disamperin ke sana?” Hunaf nampak menimang.

“Kayaknya nggak usah deh, masa iya aku jauh-jauh ke sana cuman mau nanya kabar doang. Nggak lucu banget,” kekeh Hunaf sendiri.

“Ah, tapi nggak seru juga kalau sendiri di sini, mana mamah lagi ada acara lagi. Ke rumah bunda aja kali ya,” ucap Hunaf. “Yaudah deh ke rumah bunda aja.” Hunaf masuk ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

🌺🌺🌺
Bersambung

Gimana kabarnya?

Tunggu kelanjutan ceritanya, akan ada tambahan tokoh-tokoh baru yang tentunya dengan konflik baru.

Maaf kalau partnya agak pendek;))

See you;))

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang