37. Duka

516 39 11
                                    

“Tidak ada kehilangan yang paling menyakitkan kecuali kehilangan dia yang telah kembali kepada Rabb-nya.”
.
.
.
—Hunafah Zalika—
🌺🌺🌺

Plaaak!!!

Semua yang berada dalam ruang rawat Hunaf kaget ketika Rania yang baru saja datang langsung menampar Hunaf tanpa aba-aba. Tamparan itu sepertinya sangat keras dapat dilihat dari bekas yang tertinggal di pipi bagian kiri sang menantu, padahal Hunaf baru saja sadar dari pingsannya.

“Puas kamu ‘kan?” tanya Rania dengan nada bentakkannya.

“Ma—mah,” lirih Hunaf terbata.

“Puas kamu setelah membunuh anak saya!!”

“Maksud mamah apa?” Hunaf benar-benar tidak mengerti dengan ucapan ibu mertuanya.

“Nggak usah pura-pura tidak tahu kamu, hanya karena menyelamatkan kamu dan anak kamu itu, anak saya harus merenggang nyawanya dalam kecelakaan itu. Puaskan kamu sekarang, Hunaf!” Rania menangis histeris ketika kembali membayangkan anaknya.

“Maksud mamah mas Yanza?”

“Kalau kamu jadi istri yang nurut sedikit saja pasti suami kamu tidak akan jadi seperti sekarang ini, kenapa sih kamu kalau dikasih tahu, dilarang ini, dilarang itu nggak nurut aja. Itu juga demi keselamatan kamu sama anak kamu, kalau kamu nggak nekat pulang sendiri nggak akan kayak gini kejadiannya,” cerca Rania tak bisa menahan emosinya lagi.

“Mas Yanza baik-baik aja ‘kan, mah?” tanya Hunaf menahan sesuatu yang terasa ingin meledak didadanya.

“Mobilnya sudah meledak sebelum dia berhasil dikeluarkan dari sana,” jelas Rania. Tubuhnya yang semula berdiri tegak kini perlahan merosot ke lantai, untungnya Hanif dengan cepat meraihnya.

“Mele—dak,” ucap Hunaf terbata. Pipinya sudah kembali basah, entah sejak kapan buliran bening itu kembali mengalir. “Nggak, itu nggak mungkin. Mas Yanza pasti baik-baik aja, dia udah janji sama aku akan baik-baik saja. Dia nggak bohong,” lirihnya.

“Ini semua gara-gara kamu, Hunaf!” tuding Rania.

“Mah, aku pengen ketemu mas Yanza sekarang. Tolong bawa aku ketemu mas Yanza, mah. Aku mohon,” pinta Hunaf lirih.

“Saya kecewa sama kamu, Hunaf. Sekalipun jasad Yanza ketemu, saya tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk bertemu lagi dengannya. Kamu sudah menjadi penyebab semua ini terjadi, jangan pernah berharap kamu akan melihat dia untuk terakhir kalinya,” tegas Rania lalu pergi dari sana.

“Mah,” panggil Hunaf, ia bahkan turun paksa dari tempat tidurnya untuk keluar mengejar Rania. Kondisinya yang lemah membuatnya tidak bisa terus mengejar Rania, Hanif yang melihat putrinya seperti itu merasa sangat terpukul.

“Mamah,” lirih Hunaf berusaha memanggil Rania tapi wanita itu sudah menghilang dari balik pintu.

“Sayang, jangan kayak gini. Bunda nggak tega lihatnya, nak.”

“Bun, mas Yanza bun. Dia pasti baik-baik aja kan? Dia akan baik-baik aja, dia udah janji sama aku. Aku mau ketemu sama mas Yanza bun.” Tangis Hunaf semakin lirih.

Hanif, Farhan dan kedua sepupunya merasa sakit hati melihat Hunaf yang seperti itu.

“Ayah, antar aku ketemu mas Yanza, yah. Dia pasti butuh aku, dia pasti nunggu aku yah. Dia pasti baik-baik aja, dia udah janji akan baik-baik aja sama aku. Antar aku ketemu mas Yanza, yah. Aku mohon,” mohonnya dengan suara lirih.

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang