20. Kritis

539 41 4
                                    

“Jodoh dan maut itu bersifat rahasia? Entah siapa yang akan menemuimu terlebih dahulu, apakah jodoh atau maut. Apapun itu, pastikan kamu sudah dalam keadaan selalu siap”
.
.
.
—Author—
🌺🌺🌺

Tubuh Hunaf terpental lalu berguling diaspal hingga kepalanya terbentur trotoar jalan. Kepalanya sudah penuh dengan darah yang sudah berceceran, bahkan trotoar yang membentur kepalanya tadi sudah dibasahi oleh darah yang berasal dari kepala Hunaf.

Dunia Yanza seakan berhenti berputar ketika netralnya melihat itu. Oksigen disekitarnya seakan tak ada lagi, ia bahkan tak bisa menopang tubuhnya dengan benar sehingga kedua lututnya kini sudah mendarat diatas aspal. Matanya terasa memanas, ia meraba jantungnya yang terasa sudah seperti berhenti berdetak. Dengan sekuat tenaganya, ia berusaha untuk bangkit lalu menghampiri sang istri yang sudah terbaring tak berdaya di depan sana.

Orang-orang yang melihat itu langsung berlari menghampiri, ada juga yang sibuk mencari taksi untuk membawa Hunaf kerumah sakit.

Sampai di samping istrinya, Yanza dengan hati-hati mengangkat kepala Hunaf dan ia letakan diatas pangkuannya. Wajah wanita itu sudah di penuhi oleh darahnya sendiri.

“Tolong bertahan, kita akan segera ke rumah sakit.” Yanza mengusap darah yang memenuhi wajah istrinya.

“M-mas,” panggil Hunaf terbata-bata dengan sisa tenaganya. Ia masih sempatnya untuk mengulas senyum disela rasa sakit yang menderanya.

“Tolong tetap buka mata kamu, kita akan segera ke rumah sakit.” Hunaf mengangkat tangannya, ia berusaha untuk meraih wajah sang suami. Melihat tangan istrinya terangkat ke arah wajahnya, Yanza segera meraih tangan itu lalu ia bawa untuk mengusap pipinya. Yanza bahkan tak perduli jika wajahnya terkena darah istrinya.

“K-kenapa wajah kamu berubah?” tanya Hunaf, ia memaksa untuk membuka matanya walaupun rasanya sudah tak sanggup lagi.

“Kamu jangan banyak bicara dulu, lihat darah kamu banyak yang keluar. Tetap diam, kalau kamu banyak gerak lukanya akan semakin lebar,” ucap Yanza khawatir.

“A-aku harap setelah ini aku masih bisa melihat wajah kamu lagi, mas.” Yanza menggeleng, air matanya sudah mengalir sedari tadi. Biarkan saja orang mengatakan kalau dirinya terlalu berlebihan, melihat kondisi istrinya sekarang membuat hatinya hancur berkeping-keping.

“Jangan bicara seperti itu, kamu akan baik-baik aja. Saya janji akan selalu melindungi kamu,” sela Yanza.

“Meskipun mas sudah berjanji tapi mas tidak akan bisa melindungi aku dari malaikat Izrail.” Yanza tak merespon ucapan Hunaf, ia menoleh untuk mencari taksi yang sedari tak kunjung datang. “Berjanjilah untuk tetap tersenyum apapun yang terjadi setelah ini, mas.” Kelopak mata Hunaf mulai terpejam tanpa disadari oleh Yanza.

“Ayok mas, taksinya sudah datang,” ajak seorang laki-laki paruh baya. Yanza langsung mengangkat tubuh sang istri secara perlahan.

“Tolong bertahan, saya mohon sama kamu,” lirih Yanza di akhir.

🌺🌺🌺

Sudah 30 menit berlalu, dokter yang menangani Hunaf belum juga keluar dari ruang UGD. Perasaan Yanza di selimuti oleh rasa khawatir, segala kemungkinan bisa saja terjadi terlebih istri mengalami kecelakaan yang terbilang cukup parah, apalagi kepala wanita itu yang terbentur cukup keras. Ini semua salahnya, seharusnya ia tidak membuat istrinya menunggu lama dan akhirnya wanita itu marah padanya, jika itu tidak terjadi pasti Hunaf tidak ada berada dirumah sakit sekarang.

“Keluarga pasien,” panggil seorang dokter.

Yanza yang semula melamun kini tersadar ketika mendengar suara dokter tersebut. Dengan terburu-buru ia menghampiri dokter itu untuk bertanya mengenai kondisi istrinya.

“Saya suaminya dokter, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Yanza khawatir.

Dokter itu menghela nafas sejenak lalu menatap Yanza sendu. Melihat tatapan dokter itu yang berubah sendu membuat Yanza semakin takut akan sesuatu yang terjadi pada Hunaf.

“Kondisi istri anda sangat kritis, dia kehabisan banyak darah. Rumah sakit sedang mencari pendonor darah yang cocok untuknya dan kami akan terus memantau kondisinya untuk beberapa jam ke depan sambil menunggu pendonor darah untuknya,” jelas dokter bernama Windi tersebut.

Yanza merasa dadanya bergemuruh seperti disambar petir, berkali-kali ia merasa jantungnya seakan berhenti berdetak. Bernafas saja rasanya begitu sulit bagi Yanza setelah mendengar ucapan dokter tersebut.

“Tolong lakukan yang terbaik untuk istri saya, dokter.” Dokter Windi mengangguk patuh, keselamatan pasien adalah tanggung jawabnya mereka. Walaupun mereka tidak bisa memastikan hidup dan mati seseorang, setidaknya mereka sudah berusaha sebagai seorang dokter. Hidup dan mati seseorang kembali lagi kepada takdir Tuhannya.

“Kami akan melakukan yang terbaik, jika nanti istri anda sudah melewati masa kritisnya akan kami pindahkan ke ruang rawat.”

“Terima kasih dokter,” ucap Yanza.

Dokter Windi tersenyum. “Tidak perlu seperti itu, tugas kami sebagai dokter untuk menyelamatkan pasien sebisa kamu. Selebihnya kita hanya bisa pasrah akan takdir yang maha kuasa, kalau begitu saya permisi.”

“Silakan, dokter.”

Setelah kepergian dokter Windi, Yanza dengan terburu-buru masuk ke dalam ruangan dimana istrinya itu berada. Matanya kembali memanas tatkala ia melihat sang istri terbaring dengan beberapa alat rumah sakit yang menempel di hidung dan tangan kirinya.

Yanza berjalan mendekat dengan langkah pelan, tangannya langsung meraih tangan milik Hunaf. Ia usap pelan supaya menimbulkan rasa hangat ketika merasakan tangan istrinya itu begitu dingin. Matanya tak terlepas dari wajah Hunaf, kepalanya tertutup perban putih, bibirnya begitu pucat.

“Berjanjilah untuk tetap bertahan, saya mohon sama kamu. Saya tahu, kalau hidup dan mati seorang hamba itu ada di tangan penciptanya. Jika bisa saya memohon, saya akan berdoa supaya kamu masih tetap diizinkan untuk bersama saya lebih lama lagi.” Untuk kesekian kalinya Yanza menangis jika melihat langsung kondisi istrinya.

“Saya masih membutuhkan kamu dalam hidup ini, kita harus banyak mengukir bahagia berdua sebelum nanti terganggu oleh orang lain.” Yanza mengecup pelan tangan Hunaf, bibirnya terasa begitu kaku saat tangan itu bersentuhan dengan bibirnya.

“Kamu harus cepat sadar jika tidak, pasti mamah dan bunda akan menghukum saya nanti karena tidak bisa menjaga anak menantu mereka dengan baik, jadi kamu harus bangun supaya bisa belain saya nanti ya?”

Tangan Yanza terangkat mengusap dahi sang istri yang sedikit berkeringat, setelahnya ia kecup dengan sangat lama. Ini adalah cobaan pertama dalam pernikahannya, bagaimanapun ia harus tetap menerimanya dengan ikhlas. Hunaf membutuhkan dirinya, jika ia menyerah siapa lagi yang akan bersama wanita itu untuk menjalani hidupnya dimasa depan.

“Saya akan selalu berdoa agar kamu cepat sembuh, berjanjilah untuk tetap bertahan. Apapun yang terjadi nanti.” Yanza merebahkan tubuhnya disamping tangan Hunaf, sebelum matanya memejam. Ia terlebih dahulu mengecup kembali tangan sang istri dengan lembut.

“Saya mencintai kamu, istriku.”

🌺🌺🌺
See you;))

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang