35

542 38 7
                                    





























Alvaro dan Fiona duduk berhadapan di meja makan, wanita itu kini tidak bersikap aneh seperti sebelumnya. Fiona bersikap lembut dan kalem seperti sedia kala.

Bi Nina melangkah mendekati mereka yang tengah memakan sarapannya. Membawa satu rantang bekal yang Fiona perintahkan padanya.

"Untuk apa kamu menyiapkan bekal untukku sayang?" tanya Alvaro menaikkan sebelah alisnya. Pasalnya hari ini Alvaro banyak sekali pertemuan dengan kolega bisnisnya. Dan tidak akan ada waktu makan di Kantornya. Mungkin juga ia akan makan ketika sedang meeting bersama koleganya saat makan siang.

"Ini untuk Alleta sayang... kasihan dia, pasti tidak memikirkan pola makannya di sana."

Alvaro pun mengangguk paham, melanjutkan suapan terakhirnya. "Ya sudah kalo gitu, nanti kamu diantar sopirku ya sayang. Karena sebentar lagi aku akan langsung ke Kantor dengan mobil yang lain.

Selang beberapa saat Alvaro telah beranjak dari duduknya setelah mengusap bibirnya dengan tisu. Melangkah ke arah Fiona, menundukkan wajahnya mengecup puncak kepalanya lembut. Lalu beralih meraih tas kantornya di atas meja. "Aku berangkat dulu ya sayang," ucap Alvaro memandang Fiona teduh. Wanita itu menoleh seraya mengangguk tersenyum. Usai menghabiskan sarapannya Fiona meminum segelas susu Ibu hamil di samping piringnya, sambil mengusap pelan perutnya yang masih terlihat rata. Lalu meletakkan gelas itu kembali, ia menunduk menatap perutnya. "Aku tidak sabar melihat perutku yang nantinya akan membesar seperti bola basket, dan apakah nantinya aku masih terlihat cantik di depan Alvaro setelah melihat perubahan tubuhku yang mengikuti perkembangan kehamilanku ini." Bibir delima itu mengulas senyum manis tanpa menghentikan usapan lembut di perutnya. Perasaan Fiona terasa membuncah ketika membayangkan masa-masa kehamilan dirinya nanti.

*********************************

Sorot sinar mentari memancar, menghangatkan suhu ruangan kamar Rumah sakit yang terasa dingin pagi ini. Namun Alleta tidak sedikitpun terjaga dari tidurnya Kedua tangannya masih setia menggenggam tangan Kenzie yang diinfus, dengan kepala di pinggiran kasur. Semalaman Alleta selalu memaksakan matanya untuk selalu terbuka. Berharap jika semalam Kenzie akan membuka matanya, sampai akhirnya ia tertidur tanpa disadari.

Ruangan itu sangat sunyi, kecuali keadaan luar ruangan itu. Banyak pasien yang berlalu lalang didampingi salah satu keluarganya. Entah pasien itu berjalan atau bahkan duduk di kursi roda.

Kedua kelopak mata pria itu tiba-tiba mengerjap, lalu perlahan terbuka. Memperlihatkan sepasang mata Elang yang indah. Setelah merasa pandangannya menjadi jelas, Kenzie menatap ke setiap sudut ruangan bernuansa putih itu. Dan mencium bau obat-obatan yang menguar. Hendak menoleh ke samping tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut nyeri. Tangan kanannya tergerak ingin memegang pelipisnya, tapi ia terdiam membeku. Ketika merasakan ada tangan yang menggenggam tangannya itu Kenzie melirik sedikit, ia tertegun melihat Alleta yang tertidur sambil duduk. Namun tangan mungilnya memegang erat tangan pria itu meski dirinya tertidur sangat lelap. Bibir pucat Kenzie menarik senyum tipis, tangan kirinya perlahan terangkat menyentuh puncak kepala Alleta menyampirkan helaian-helaian rambut gadis itu yang menutupi sedikit wajahnya.

Tapi hal itu tidak bertahan lama, Alleta yang merasa terusik tidurnya bergerak pelan sampai kedua mata sehitam kopi itu terbuka Reflek ia terjaga melepas genggamannya, mengusap kedua mata yang dirasa pandangannya masih buram. Namun setelah itu wajah Alleta terasa kaku, ketika melihat pria yang sudah dua hari tidak membuka matanya kini terjaga dengan pandangan terpaku pada gadis itu. Semua rasa rindu dan kesedihan tiba-tiba memenuhi relung hatinya. Alleta beranjak dan langsung mengulurkan tangannya memeluk Kenzie yang masih terbaring. Menyandarkan kepalanya di dekat dada kanan Kenzie. "Aku senang, akhirnya bisa melihat lagi sepasang hazelmu Ken..." tutur Alleta lirih, karena merasa tidak begitu berenergi pagi ini. Tangan Kenzie terangkat mengusap rambut gadis itu. "Apa kau merindukanku?" tanya Kenzie melirik Alleta yang terpejam dengan senyum yang mengulas dengan manisnya. Sedetik kemudian Kenzie menggeser sedikit tubuhnya, memberi ruang kosong untuk Alleta berbaring. Perlahan Kenzie menarik tangannya sampai gadis itu tahu maksud pria itu dan menurutinya tanpa berkilah. Berbaring di sampingnya, lalu merapat pada Kenzie. Memeluk erat perut pria itu.

Mereka berbicara dengan suara pelan, dan sesekali tersenyum sambil saling memandang. Tanpa menyadari Fiona yang kini berada di balik pintu, wanita itu ragu untuk masuk begitu mendengar suara bisik kedua sejoli di dalam ruangan itu. Akhirnya Fiona menghela napas pelan sambil tersenyum. Wanita itu memilih pergi dari sana dengan rantang nasi di tangannya.

Tepat ketika Fiona hendak pergi ada perawat yang mau masuk ruangan Kenzie, sepertinya ingin memeriksa perkembangan Kenzie. Segera ia merentangkan tangan kanannya menghadang perawat itu. Membuatnya mengernyitkan dahinya bingung melihat tindakan Fiona yang tiba-tiba. "Maaf sus sebelumnya, kebetulan Anda mau masuk ke dalam kan? boleh tidak saya nitip makanan ini buat orang yang di dalam nemenin pasiennya?"

Tanpa kata perawat itu meraih rantang yang Fiona ulurkan padanya sambil mengangguk. "Terima kasih sus, oh iya kalo bisa diketuk dulu ya pintunya saya permisi," ucap Fiona seraya melenggang pergi. Lagi-lagi perawat itu bingung, namun akhirnya memilih membuka pintu secara langsung tanpa mengetuknya.

Setelah dibuka, perawat itu dibuat terkejut dengan wajah merona. Ketika melihat kenzie yang berpelukan dengan Alleta di atas kasur sempit itu. Namun kedatangan perawat itu tidak membuat Kenzie sungkan padanya, melainkan kesal karena telah lancang membuka pintu tanpa mengetuknya dulu. Alleta pun segera beranjak dari kasur itu denga wajah tersipu malu, dan kembali duduk di kursi sampingnya.

"Harusnya Anda mengetuk pintu dulu, bukan main nyelonong begitu saja," ujar Kenzie tegas. Membuat perawat itu merasa semakin canggung dan merasa bersalah. Walaupun biasanya memang seperti itu, semua perawat ataupun dokter langsung masuk untuk melihat keadaan pasien. Untuk mengurangi resiko kemungkinan pasien keadaannya tidak stabil dan tidak ada seorang pun yang menemaninya, untuk menekan tombol alarm memanggil dokter jika sesuatu terjadi pada pasien.

"Maaf Tuan, saya tidak bermaksud tidak sopan. Saya hanya mengikuti prosedur dari Rumah sakit ini," jelas perawat itu memberi pengertian padanya. Kenzie hanya mendengus kesal, tanpa berkata apapun. Lalu perawat itu segera memeriksa keadaannya.

**********************************

"Bagaimana? kau dapat info tentang keadaan Kenzie?" tanya seorang pria berambut cepak pada orang di seberang telepon.

"Gawat Tuan! dia sudar sadar, dan saya dengar dua hari lagi Kenzie sudah bisa dipulangkan." Hal itu membuat pria itu yang tak lain Marvel menggeram kesal sambil mengepalkan tangannya. "Kalau begitu, kita segera lanjutkan rencana berikutnya," perintah Marvel sambil menyeringai. "Baik Tuan!" Ia pun mematikan telepon sepihak. Pandangannya terarah pada dua foto pemuda yang memakai baju taekwondo sedang tersenyum membawa piala di foto itu. "Siapapun tidak bisa menang dariku! kekalahanku dulu dan perbuatan kalian padaku dan Mora akan aku balas lebih menyakitkan!"






































.

..
..
.
.
.
.
.
.
.
.

Hai semoga masih ada yang nunggu cerita ini sampe selesai iya :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Lovely Boss Mafia || JiroseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang