"Mas Erlan kemana, Mah?" tanya Kirana saat ia tidak mendapati Airlangga ada di dalam kamar perawatannya. Tanpa terasa hampir satu bulan sudah Airlangga mendapatkan perawatan di rumah sakit tersebut. Andin yang barusaja membereskan barang-barang itupun mendongak menatap Kirana yang masih mengenakan seragam loreng itu.
"Di taman sepertinya, Na. Belakangan ini entah kenapa kok Mama merasa Erlan agak beda ya. Dia lebih banyak melamun.. Coba kamu tanya, Na. Karena setiap Mama tanya dan minta cerita dia hanya bilang nggak kenapa kenapa, nggak ada masalah, tolong ya, Na.." pinta Andin. Kirana mengangguk tegas sebelum akhirnya berpamitan untuk menemui Airlangga di taman rumah sakit itu. KIrana berjalan menuju ke taman dan benar saja, ia menatap Airlangga dari kejauhan. Pemuda itu nampak murung dan menatap dengan pandangan kosong seperti sedang melamun. Hal itu sudah Kirana perhatikan beberapa saat setelah Airlangga sadar. Pemuda itu lebih banyak diam dan lebih suka menyendiri. Kirana berjalan perlahan, tiba-tiba ia sudah berdiri dihadapan Airlangga dan memberi hormat.
"Sudah selesai latihannya?" tanya Airlangga saat ia tersenyum melihat pujaaan hatinya ada didepan mata. Kirana mengangguk dan mendorong kursi roda Airlangga, mencari tempat untuk mengobrol yang lebih nyaman. Kirana sengaja memposisikan diri bersimpuh dihadapan Airlangga dan menatap Airlangga lekat.
"Sebentar lagi sudah boleh pulang kan? Terus mau langsung ngurus pengajuan nikah atau ditunda dulu sampai terapi Mas selesai?" tanya Kirana. Airlangga tersenyum. Pemuda itu mengusap puncak kepala Kirana lalu mencubit gemas hidung mancung Kirana.
"Pengajuan dong, Sayang.. semua berkasnya sudah di urusin tuh sama Papa Gading dan Papa Samudera, jangan sampai mereka kecewa karena kita nunda pengajuan," ucap Airlangga seraya memberikan cengiran kudanya, sementara itu Kirana menunduk malu saat ia mendengar Airlangga memanggilnya dengan sebutan 'sayang', rasa-rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu di perut Kirana sekarang.
"Mas.."
"Hmm.."
"Boleh tanya sesuatu?"
Airlangga menoleh menatap Kirana yang kini duduk di samping kursi rodanya. "Boleh, mau tanya apa?"
Kirana diam sejenak, ia menatap Airlangga lekat lalu tersenyum. Kirana memberanikan diri mengusap wajah tampan Airlangga dan memperbaiki posisi rambut Airlangga yang nampak sudah kepanjangan itu. "Mas sedang mikirin apa? Kayaknya kok ada beban pikiran yang mengganjal," ucap Kirana. Airlangga terkesiap ia nampak terkejut dengan pertanyaan Kirana barusan. Kirana yang menyadari perubahan raut wajah Airlangga itu pun berpikir jika mungkin ada hal yang tidak ingin Airlangga bagikan dengan siapapun termasuk dengan Kirana.
"Kalau Mas nggak niat jawab pertanyaan Nana nggak masalah kok, mungkin memang Mas butuh waktu sendiri," ucap Kirana seraya tersenyum. Airlangga membuang nafas kasar lalu kembali mendongak menatap Kirana. "Bukan hal yang penting, tapi akhir akhir ini cukup mengganjal saja dipikiran, Na," ucapnya lirih.
"Boleh Nana tahu?"
Airlangga menoleh dan tersenyum lalu meraih jemari Kirana dan menggenggamnya erat. "Akhir-akhir ini banyak hal yang tiba-tiba saja datang dalam pikiranku, Na. Tentang kamu, tentang keluarga kamu, tentang saya, dan--Arya," ucap Airlangga lirih. Kirana mengerutkan dahinya, merasa heran dengan ucapan Airlangga barusan. "Maksud Mas apa?"
"Sebentar lagi kita menikah, jujur, kejadian penembakan yang saya alami cukup membuat mental saya sedikit anjlok. Kalau penjahat biasa yang menembak saya, sepertinya itu wajar, tapi--orang yang menembak saya hingga nyaris tewas adalah ayah kandung saya sendiri. Darahnya mengalir di tubuh saya, Na, saya hanya takut jika saya akan bersikap demikian pada anak saya kelak, dan saya tidak mau hal itu terjadi," ucap Airlangga. KIrana tertegun sejenak. Ia cukup memahami apa yang dialami oleh Airlangga walaupun tidak merasakannya secara langsung, namun membayangkan hidup dalam bayang-bayang ayah yang ternyata adalah seorang penjahat dan nyaris dibunuh tentu saja sedikit banyak akan menurunkan mentalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mission X √ TAMAT
AcciónTugas negara adalah sebuah kehormatan setiap prajurit, untuk itu tugas harus diselesaikan dengan baik, benar, sempurna, tanpa cacat. Tidak ada kata ragu saat langkah ini terus menapak maju, mengangkat senjata demi melindungi orang orang yang dicinta...