6

2.6K 324 12
                                    

Naruto menyelimuti bahu Hinata dengan blanket bulu yang dia ambil di lemari. "masuklah jika kedinginan, kita bisa melihat purnama dari dalam."

Hinata bertumpu pada balkon kamar di lantai dua, kepalanya mendongak sejak tadi untuk melihat purnama yang malam ini nampak samar. "Katanya, bulan purnama hanya akan muncul tiga kali dalam satu musim."

"Jadi kau tidak ingin melewatkannya?" Naruto ikut bertumpu di balkon besi. Padahal cuaca dingin sekali selepas hujan salju yang turun sejak sore.

Hinata mengangguk "tiap kali melihat purnama di musim dingin, aku rindu ibuku." Dia berujar tanpa menatap Naruto.

Naruto mengusap puncak kepala Hinata dengan lembut dan tersenyum tipis "ibumu di surga, pasti senang melihat putrinya bisa sampai di titik ini."

"Kuharap begitu." Hinata sejujurnya tak berpikir begitu karena meski dirinya sembuh dari rasa duka, luka itu tetap di sana, terselip di salah satu ruang hatinya.

Ibu meninggal dunia di rumah, tepat setelah menatap purnama bersamanya dari jendela kamar malam itu.

Naruto lalu melangkah ke belakang tubuh Hinata dan memeluk bahu wanita itu dengan rengkuhan hangat. "Berhentilah bersedih." Dia masih ingat betul kejadian bertahun-tahun lalu, kala dirinya menemani Hinata di rumah pemakaman, semalaman suntuk di hari kematian ibunya.

Hinata memang sangat dekat dengan ibunya, namun sayang sekali wanita paruh baya yang amat cantik tersebut meninggal dunia sebab penyakit kanker yang di deritanya, saat dulu Hinata berada di tahun ke dua masa SMA.

"Jika Ibu masih hidup, aku yakin semua tidak  akan jadi begini." Hinata bergumam sambil menyesali keadaan keluarganya yang sejak kematian Ibu, semua jadi begitu kacau.

"Tidak ada takdir Tuhan yang perlu disesali." Naruto memberikan sedikit kalimat penenang untuk Hinata.

Hinata mengangguk "terima kasih, kau selalu ada di saat terpurukku." Dia berujar tulus pada Naruto karena sejak dulu hingga hari ini, hanya pria itu yang selalu mengusap pundaknya, membantunya berdiri tegak di hari-hari tersulit yang pernah dia lalui.

Naruto meletakan dagunya di bahu Hinata dengan kedua lengan masih memeluk tubuh wanita itu dengan erat dari belakang. "Aku tidak butuh terima kasih lagi, aku butuh kau baik-baik saja." Dia berujar tulus.

Hinata entah kenapa merasa sedih mendengarnya. "Maaf jika aku selalu datang padamu dalam keadaan kacau, nanti di masa depan aku berjanji hanya akan datang di saat bahagiaku saja."

Naruto menggeleng "datanglah kapanpun kau butuh aku di sisimu."

Hinata mengusap lembut lengan pria itu yang tengah merengkuhnya. Salah satu hal yang paling dirinya syukuri dalam hidup adalah bertemu dengan Naruto.

Bohong jika Naruto katakan rasanya tidak menyakitkan kala melihat wanita itu datang padanya dengan air mata. Tapi dia tak bisa menawarkan apapun selain bahunya untuk jadi sandaran.

Dan Naruto pernah mendapati satu permintaan dari Ibu Hinata tepat di tujuh hari sebelum kematiannya.

Hari itu Naruto datang ke mansion keluarga Hyuuga untuk mengantar Hinata pulang selepas kemah di sekolah dan pada saat itu Naruto tidak tahu kalau momen itu akan jadi terakhir kalinya dia bisa bicara dengan Ibu Hinata.

...

•Flashback•

"Hinata, bergegaslah ganti pakaian. Ayahmu sudah menunggu di ruang perjamuan." Seorang Bibi langsung mengambil alih tas punggung yang Hinata bawa sepulangnya dari berkemah.

SanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang