"Aku bisa berjalan dengan kakiku sendiri." Hiashi berujar dingin seraya melangkah keluar dari ruang kerjanya di mansion. Namun sial orang-orang itu masih menyeretnya.
Pagi ini mansion megah itu dikejutkan oleh kedatangan beberapa anggota kepolisian sekaligus badan penyidik yang bertugas menyelidiki kasus korupsi yang dilakukan Hamura.
"Sudah kukatakan bahwa Hamura hanya membayar hutangnya." Hiashi masih mencoba menjelaskan meski kakinya terus dipaksa melangkah menuju mobil polisi di depan mansion.
Kedua lengannya diapit oleh dua anggota kepolisian seolah diseret bak tersangka. Sungguh sebuah penghinaan yang begitu sulit diterima olehnya.
Beberapa wartawan nampak memotret penangkapan tiba-tiba itu. Entah apa yang sudah dikatakan Hamura pada penyelidikannya hingga Hiashi bisa terseret arus yang sebetulnya sangat ingin dihindarinya.
"Kau bisa jelaskan di kantor polisi Tuan." Seorang petugas kepolisian membuka pintu mobil dan mempersilakan Hiashi masuk lebih dulu.
"Tolong hubungi pengacaraku." Hiashi menatap penuh harap pada tetua yang ada di samping mobil polisi. Sungguh ini benar-benar membuatnya terkejut. Bukankah dirinya sudah mempersiapkan segalanya?
Tetua itu kemudian memalingkan wajah dari Hiashi. Akhirnya mimpi buruk terjadi juga, sebuah kekacauan yang pasti akan menghancurkan nama Hyuuga setelah ini.
Hiashi menatap tak percaya saat para tetua tak mencoba untuk membantunya sama sekali, bahkan mereka memalingkan wajah?
Ternyata benar dugaannya kalau pada akhirnya tak satupun akan membantunya di keadaan ini.
Di tengah kekecewaan yang membuncah itu Hiashi teringat pada mendiang istrinya yang selalu melarang keras dirinya untuk memberikan dukungan pada Hamura lima belas tahun lalu.
Sungguh dirinya tidak tahu kalau petaka yang istrinya sebut-sebut dulu benar terjadi belasan tahun setelahnya.
...
Naruto meraih sebatang rokok di atas meja dan menyalakan pemantik. Menjelang dini hari, lagi-lagi pekerjaan membuatnya terjaga selarut ini.
Pria itu membuka jendela ruangan yang belakangan ini sudah berubah jadi ruang kerja karena dirinya tak mungkin mengurus pekerjaan di kamar.
Namun malam ini, Hinata menemaninya melalui malam penuh kepeningan yang menyiksa.
"Ini bukan pertama kali kau memimpin proyek sebesar ini, kenapa begitu gelisah?" Hinata menghampiri suaminya dan menatap mata pria itu.
"Nyaris dua minggu penuh terus menemui walikota dan pejabat tinggi lainnya membuatku agak tertekan." Naruto tahu Inggris dan Jepang memiliki sistem pembangunan yang berbeda dan dirinya belum terbiasa. Semua proyek besar yang dirinya pegang sebelum ini selalu bertempat di Jepang.
"Bukankah mereka tidak mengerti soal proyek pembangunan itu sebaik dirimu?" Hinata mengusap bahu suaminya yang terkena abu dari rokok yang dipegangnya.
Naruto tersenyum tipis "jika aku melakukan kesalahan pada mega proyek mereka, aku mungkin akan di deportasi dari Inggris."
"Kesalahan macam apa yang akan dilakukan seorang mahir sepertimu?" Hinata benar-benar bertanya kali ini.
Naruto tak dapat menahan lengkungan senyum di bibirnya. Rasanya seperti mendapat angin segar, mendengar Hinata berucap begitu. "Kau merayuku hm?"
"Aku sungguh bertanya." Hinata kini menoleh ke arah jendela yang terbuka dan bertumpu di kusen kayu jati itu.
Naruto menyesap cerutunya dalam-dalam lalu mengembuskannya ke udara untuk yang terakhir kali sebelum dirinya memadamkannya dan melemparnya ke dalam tempat sampah di bawah meja kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanity
FanfictionEven though we shouted out countless times, without it ever reaching one another but whenever you ask me again, how I feel, please remember my answer is you.