Naruto berbaring tak berdaya di atas ranjang pasien besar itu. Semalam akhirnya dia menjalani operasi tulang yang telah tertunda begitu lama.
Sekarang lengannya terasa benar-benar nyeri akibat bekas jahitan di sepanjang lengan kanannya selepas pemasangan pen pada tulangnya yang patah.
Pria itu menghabiskan sepanjang pagi dengan menggeram tertahan karena sakitnya benar-benar terasa menyiksa. Bahkan keringat dingin terus keluar dari keningnya meski suhu ruang rawat ini begitu dingin.
Saat sedang termenung menatap langit-langit ruang rawat itu. Tiba-tiba saja pintu ruangan tersebut terbuka.
Naruto tak berencana menerima tamu atau seseorang yang akan menjenguk di pagi hari pukul enam begini, tapi dia tak bisa berkata apa-apa saat mendapati ayah Hinata ada di sana.
Hiashi melangkah masuk ke dalam ruang rawat itu. Setelah semua hal di hidupnya menjadi kacau berantakan, dia akhirnya memutuskan akan kembali ke Okinawa, tapi sebelum itu dia harus bicara dengan si brengsek penyebab semua kekacauan ini. "Naruto."
Naruto tak mengatakan dan melakukan apa-apa, dia hanya menatap pria baya yang melangkah ke arahnya.
Hiashi melangkah ke sisi ranjang pasien besar itu. "Ternyata kau di sini, Naruto." Dia telah mencari Naruto dan juga Hinata ke seluruh penjuru kota Tokyo dan akhirnya dia temukan si keparat itu terbaring di rumah sakit.
"Maaf tidak membuatmu datang ke pemakaman." Naruto berujar dengan suara beratnya, sejujurnya dia tidak tahu harus bagaimana bersikap di depan ayah Hinata setelah semua yang terjadi namun dia akan menghadapi apapun yang akan terjadi.
"Kau bawa ke mana putriku?" Hiashi bertanya serius kali ini. Hinata sudah tidak pulang ke apartment selama beberapa minggu.
"Apa masih pantas menyebutnya begitu, setelah semua yang terjadi?" Naruto tahu ikatan darah antara anak dan ayahnya tidak akan permah putus meski sampai mati sekalipun, namun apa yang terjadi pada Hinata dan ayahnya sudah melebihi batas dimana dia bisa menerima itu sebagai sebuah kewajaran.
"Apa belum puas kau mengacaukan segalanya, Naruto?" Hiashi bertanya dengan nada marah yang tak bisa dia tutupi. "Kau menghamili putriku, menyembunyikannya entah di mana, dan melaporkanku ke Polisi. Apa kau pikir kau yang adalah korban di sini hanya karena cidera di lengan?"
Naruto memejamkan mata dan menyadari sepenuhnya kesalahannya karena menghamili Hinata, namun dirinya tak pernah minta untuk berbaring tak berdaya di sini. "aku pun tidak ingin disebut korban. Tapi aku melakukan ini hanya untuk melindungi Hinata dan juga anakku."
"Anak." Hiashi mendecih. "Kau tahu apa soal jadi orangtua?"
Naruto tentu tidak tahu, dirinya bahkan terkejut mendapati Hinata hamil waktu itu dan semua terjadi begitu saja. Tapi hal itu tak membuat Hiashi nampak jauh lebih baik darinya. "Aku tidak berencana jadi orangtua yang sempurna, tapi setidaknya aku akan menerima kelahirannya bahkan meski harus mati di sini."
Hiashi tak merasa tertohok, meski dia tahu Naruto berujar begitu untuk memojokannya.
"Kalau kau benar-benar peduli pada Hinata, kau jangan khawatir, dia baik-baik saja." Naruto berujar pasti.
"Kau bajingan, Naruto." Hiashi berujar geram. Dia meremat surat yang sejak tadi ada di tangannya.
Itu adalah surat penolakan dari laporan yang dia buat ke kepolisian soal putrinya yang dibawa lari.
Namun tahu apa yang membuatnya sangat terkejut? Dia mendapati laporannya ditolak sebab status Naruto dan Hinata di catatan sipil telah berubah menjadi sepasang suami-istri hingga pelaporan itu dianggap tidak masuk akal kemudian ditolak. "Kau menikahi Hinata tanpa izinku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanity
FanfictionEven though we shouted out countless times, without it ever reaching one another but whenever you ask me again, how I feel, please remember my answer is you.