Pagi itu Hinata terjaga dengan rasa lemas dan menggigil di seluruh tubuh.
Setelah menghabiskan nyaris empat puluh menit di dalam kamar mandi untuk meyakinkan dirinya soal dugaan ini dan memberitahunya pada Naruto, wanita itu akhirnya melangkah keluar kamar.
"Naruto." Hinata menghampiri suaminya yang tengah menatap sketch pembangunan jembatan yang baru saja dikirim oleh arsiteknya di Manchester. Pria itu cukup sibuk mengurus pekerjaan, dia bahkan melaksanakan meeting secara daring dini hari tadi sebab perbedaan waktu antara Jepang dan Inggris.
"Hem?" Naruto hanya bergumam. Dirinya berdiri di depan counter dapur sambil menatap tablet dan menyesap kopi di cangkirnya.
Hinata agak ragu untuk mengatakan ini pada pria itu sekarang tapi dirinya semakin gelisah saat mendapati tanda-tanda itu semakin jelas.
Wanita itu memeluk pinggul suaminya dan bersandar pada bahu tegap pria itu.
Naruto tersenyum simpul sambil mengusap lengan Hinata yang melingkar di pinggulnya. Wanita itu jarang bermanja padanya kecuali di atas ranjang. "Ada apa?" Tanyanya dengan suara baritone yang terdengar tegas namun juga lembut di saat yang bersamaan.
Hinata berbisik pelan. "Aku sepertinya hamil, Naruto."
Naruto tersentak dan sepenuhnya mengalihkan pandangan dari tablet di atas counter dapur dan menoleh pada istrinya yang masih menenggelamkan wajah di bahunya.
Hinata mengangkat wajah saat suaminya melepaskan pelukannya dengan lembut dan memintanya berdiri berhadapan.
Naruto mengusap pipi Hinata dengan lembut sambil memejamkan mata untuk mencerna berita mengejutkan barusan. "Kenapa baru mengatakannya?"
"Aku belum yakin awalnya." Hinata sebenarnya tidak ingin Naruto melarangnya untuk datang ke Jepang maka dirinya menahan berita ini sebentar.
"Tunggu sebentar, kubelikan testpack di apotek lantai satu." Naruto menggenggam tangan Hinata erat-erat sambil menatap mata amethystnya.
"Jika benar, bagaimana?" Hinata menggigit bibirnya. Dia menahan lengan Naruto untuk tak pergi dulu.
Naruto menyandarkan wanita itu di tepi counter dapur. "Aku akan sangat senang, jika memiliki bayi lagi. Ayah, Ibu, Bolt juga pasti sama senangnya."
Hinata menatap pria itu "benarkah?" Usia Bolt sudah empat tahun, memiliki adik mungkin bukan hal yang perlu dikhawatirkan lagi.
"Tentu saja." Naruto mengangguk, kalau dipikirkan lagi, berita kehamilan bukanlah hal yang mengejutkan kalau ingat seberapa sering mereka bercinta belakangan ini. "kita pastikan dulu." Dia mengecup bibir Hinata dengan lembut.
Hinata menumpukan lengannya di bahu pria itu dan membalas sapuan bibirnya yang begitu lembut.
Naruto menyingkap surai panjang wanita itu ke belakang telinga setelah melepaskan pautan bibir mereka. "Semoga benar." Dia menyentuh perut Hinata yang tertutup piyama model kimono sebatas paha.
Hinata hanya menatap pria itu dan mengangguk. Dia juga berpikir begitu.
...
Naruto melesat dengan sangat cepat menuju apotek di lantai satu dan membeli dua buah testpack untuk istrinya.
"Tak bisa menunggu di luar?" Hinata merasa malu karena suaminya sangat penasaran hingga menunggu di dalam toilet.
"Aku hanya sangat penasaran." Naruto bersandar di washtafel counter sambil bersedekap, menunggu istrinya selesai mengetes.
Hinata menekan flush di toilet dan melangkah menuju suaminya, membawa alat berbentuk persegi panjang itu di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanity
FanfictionEven though we shouted out countless times, without it ever reaching one another but whenever you ask me again, how I feel, please remember my answer is you.