Naruto berbaring miring di atas ranjang, menatap Hinata yang masih terlelap di hadapannya. Tak biasanya wanita itu terbangun lebih terlambat darinya.
Namun tak sampai sepuluh menit Naruto terdiam mengamati wajah cantik yang terlelap itu, kelopak mata seputih kapasnya mengerjap.
Naruto tersenyum tipis dan menyambut wanita itu. "Selamat pagi."
Hinata tidak tahu sejak kapan mereka berbaring berhadapan begini karena semalam dia terlelap memunggungi Naruto. "Selamat pagi."
Naruto membelai pipi Hinata dengan lembut dan mengecup keningnya secara singkat. "Tidurmu nyenyak?"
Hinata mengangguk "em." Dia senang karena akhirnya Naruto ada di sini. Setelah berbulan-bulan mereka tinggal secara terpisah.
Naruto menggenggam tangan Hinata di atas bantal "aku menunggumu terjaga."
"Karena apa?" Hinata merasa malu karena Naruto berujar begitu lembut di hadapannya.
"Ingin saja, memangnya tidak boleh?" Naruto menyangga kepalanya dengan lengan kiri sambil tetap menghadap ke arah istrinya.
Hinata meraih tangan kanan Naruto yang tengah membelai pipinya. "bekas operasinya apakah baik-baik saja?" Dia menyentuh luka bekas jahitan melintang yang ada di lengan kanan pria itu.
"Aku pulih dengan cepat, kau tidak perlu khawatir." Naruto tidak ingin beritahu Hinata seberapa dia mengalami kesulitan selepas menjalani operasi itu dan dirinya nyaris jadi seorang kidal permanen sekarang.
"Syukurlah." Hinata menatap mata biru Naruto yang nampak begitu indah dan teduh. Dia harap nanti putranya memiliki mata biru serupa.
"Ada sesuatu yang aku lupa berikan untukmu." Naruto tidak sempat memberikannya semalam karena dirinya lelah sekali setelah penerbangan dari Tokyo.
"Apa?" Hinata bertanya penasaran.
Naruto meraih sesuatu di bawah bantalnya, yang sudah dia siapkan sejak pagi buta tadi dari kopernya.
Hinata mengangkat alisnya karena terkejut Naruto mengeluarkan kotak beludru berwarna biru tua berisi sepasang cincin yang indah, satu dengan batu berlian dan satu polos dengan ukuran yang lebih besar.
"Cincin pernikahan." Naruto lalu meraih tangan kanan istrinya dan menyematkan cincin dengan berlian bulat yang dia beli bulan lalu. "Agar kau tidak lupa kalau kita sudah menikah."
"Mana mungkin aku lupa." Hinata kemudian meraih cincin satunya dan menyematkannya di jari manis kanan pria itu.
Naruto tersenyum simpul "aku hanya khawatir." Dia meraih tangan kanan Hinata dan mengecupnya dengan lembut.
Hinata merapatkan tubuhnya pada Naruto dan mengucapkan terima kasih.
Naruto baru akan membalas ucapan terima kasih itu dengan sebuah ciuman pagi yang romantis namun tiba-tiba saja suara Ibu menggemar di depan pintu.
"Naruto, cepat bantu ayahmu menyingkirkan daun kering!" Kushina membuka pintu kamar tanpa keraguan. "Naruto!"
Namun langkahnya terhenti tepat selangkah di depan pintu kala pintu kamar terbuka, dia mendapati sepasang manusia tengah berbaring di atas ranjang dengan begitu dekat saling bertukar tatapan mesra.
Oh, astaga kadang dirinya lupa kalau putranya bahkan sudah menikah.
"Beri aku waktu sepuluh menit, Bu." Keluh Naruto sambil menahan bahu Hinata agar tak beranjak dari ranjang secara terkejut saat Ibu tiba-tiba membuka pintu.
"A-ah, baiklah lanjutkan dulu." Kushina lalu buru-buru menutup pintu kembali. "Maaf menginterupsi."
Hinata tak bisa menahan rasa malu yang benar-benar membuncah, menyebabkan pipinya sontak memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanity
FanfictionEven though we shouted out countless times, without it ever reaching one another but whenever you ask me again, how I feel, please remember my answer is you.