14

1.9K 297 17
                                    

"Ibu." Naruto pikir, kehamilan Hinata ini akan jadi sesuatu yang besar, entah masalah apa yang nanti akan dirinya hadapi maka dia harus memberitahu orangtuanya sekarang juga.

Jika nanti kemungkinan terburuk terjadi, dia tak ingin orangtuanya di Inggris terkejut.

"Ada apa Naruto?" Suara seorang wanita menggema di seberang telepon.

"Hinata hamil, Bu." Naruto tidak bisa memulai pembicaraan dengan basa-basi kala isi kepalanya berkecamuk kacau. "Anakku"

"Kau gila?" Suara di seberang telepon terdengar begitu keras karena terkejut.

Naruto memijat kepalanya yang terasa pening.

"Kau memaksanya?" Kushina bertanya masih dengan perasaan terkejut. Tentu dia tahu dan juga mengenal baik perempuan bernama Hinata. Dia adalah putri dari seorang politikus nomor satu di Okinawa sekaligus teman dekat putranya sejak SMA hingga kuliah di Tokyo.

"Bu, demi Tuhan, aku tidak memperkosanya atau apa." Naruto berujar cepat, khawatir ibunya salah paham.

"Lalu bagaimana bisa? Kau bilang Hinata akan menikah!" Kushina selalu mendengar keluhan dan umpatan Naruto soal akan ditinggal menikah oleh cinta pertamanya.

Tiap kali anak itu pulang ke Inggris, hal tersebut adalah topik yang selalu di bahasnya secara berulang. Lalu sekarang Hinata hamil? Naruto pasti sudah gila karena kalut dan melakukan yang tidak-tidak.

"Itu masalahnya." Naruto berdiri di dekat jendela sambil menatap keluar.

"Siapa saja yang sudah tahu soal ini?" Kushina bertanya serius kali ini. Sepertinya putranya akan terlibat masalah besar di Jepang.

"Aku, Hinata, dan calon suaminya itu." Naruto tahu dirinya harus memutuskan sendiri pilihannya nanti tapi hanya ingin ibunya tahu.

Kushina tak ingin gegabah dan Naruto harus bicara serius dengan Hiashi. "bicaralah dengan ayahnya."

"Ini mungkin akan berakhir buruk, Bu." Naruto berujar pelan sekarang karena takut Hinata mendengar.

"Ibu tahu" Kushina masih benar-benar terkejut dengan berita yang Naruto berikan.

Sungguh Naruto telah melakukan kesalahan besar, dengan menghamili seorang perempuan, tapi putranya itu adalah seorang pria dewasa yang sudah lebih dari mampu mengambil keputusan.  Maka Kushina akan menyerahkan segala keputusan padanya dan membiarkanya bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi.

"Aku tidak ingin kehilangan anak itu juga." Naruto kini mengusap wajahnya dengan kasar karena tak bisa berpikir jernih. "Anak itu anakku, Bu."

Kushina sempat terenyuh cukup lama kala mendengar Naruto berujar seperti itu. Bukankah Naruto sangat serius kali ini?

Putranya itu akan jadi seorang ayah. "Kau tahu apa kesalahanmu hm?"

"Aku melewati batasan." Naruto akui dirinya terlalu terbuai dan menggebu-gebu karena cinta yang kian liar tumbuh di hatinya.

...

Hinata pikir dirinya tidak boleh terus membantah Naruto. Pria itu nampaknya sangat serius soal ucapannya malam itu, soal dirinya tidak perlu pulang dan bersiap untuk pertunangan.

Naruto meraih ponsel Hinata dan mematikannya, kemudian meletakannya di dalam kotak bersamaan dengan sebuah laptop milik perempuan itu. "Maaf kalau ini terasa menyesakan bagimu, tapi aku sangat khawatir."

Hinata menerima sebuah ponsel baru yang Naruto sodorkan. Pria itu benar-benar berniat menyembunyikannya di sini sampai waktu yang belum ditentukan. "Aku mengerti, tapi lari bukanlah jalan keluar."

Naruto menggeleng, sampai di sini Hinata belum paham soal kekhawatirannya. Dirinya bukan ingin lari dari masalah, namun menghindari wanita itu disakiti dan terluka. "Ini bukan jalan keluar, ini bagian dari pertanggung jawabanku."

"Soal bayi ini?" Hinata bertanya serius pada Naruto. Mereka duduk di tepi ranjang sambil menatap satu sama lain penuh arti.

"Tentu saja, ini bukan hanya soal kita berdua." Naruto mengusap bahu Hinata dengan lembut.

Hinata meraih punggung tangan Naruto yang tengah bertumpu di atas pangkuannya. "Aku minta maaf kalau semuanya jadi rumit begini."

"Pasti ada jalan keluar." Naruto memeluk wanita itu dengan rengkuhan yang hangat. Dia ingin Hinata merasa tenang meski dia tahu itu akan sangat sulit dilakukan.

...

Toneri melempar gelas sake di tangannya ke arah dinding. "Hinata hamil, anak orang lain. Bagaimana bisa kau tidak tahu?!" Makinya pada Hiashi.

Hiashi duduk di kursinya dengan tenang meski keterkejutan dan emosi yang meluap nyaris meronta dari dalam diri. "Naruto Uzumaki?"

"Ya, dia keparat yang menghamili Hinata." Toneri sudah kalut dan nyaris gila sejak semalam, tepatnya setelah dia bertemu dengan Naruto.

Sekarang Hiashi mengerti soal lamaran yang Naruto berikan di hadapannya beberapa waktu lalu di Okinawa. "musim dingin lalu dia sempat datang padaku dan melamar Hinata."

"Ck, tambahan informasi yang tidak berguna." Toneri mendecih marah "sebenarnya siapa keparat itu?"

"Dia teman lama Hinata." Hiashi tak begitu mengenal Naruto, hanya sekelibat informasi yang dia tahu mengenai pria muda itu.

"Apapun itu, aku tidak peduli." Toneri kembali berujar. "Sebelum ayahku tahu soal berita ini, kita harus meluruhkan bayinya dan pertunangan harus tetap terjadi." Dia menatap mata Hiashi dengan serius.

Hiashi memiliki setitik keraguan kala mendengar soal peluruhan janin itu. "Kau ingin memaksa Hinata melakukan aborsi?"

Toneri mencondongkan tubuhnya dan bicara serius di hadapan Hiashi. "bukan aku, tapi kau."

Hiashi meremat pangkuannya dengan emosi yang terendap. Toneri terkadag memiliki hati dan mulut yang lebih pantas disebut iblis daripada manusia.

"Kau yang tidak becus menjaga putrimu, hingga dia bisa hamil begini." Toneri berujar dingin sambil menatap rendah ke arah Hiashi. "Keluarga bermartabat apanya, Hinata adalah sebuah aib bagi Hyuuga."

Hiashi memejamkan mata sambil menghela napas berat "tutup mulutmu Toneri."

"Berani-beraninya kau memintaku tutup mulut!" Toneri melempar satu gelas kaca lainnya ke dinding. Dia ingin menekankan pada Hiashi siapa yang seharusnya marah. "aku tidak ingin tahu bagaimana caranya, tapi besok malam pastikan Hinata sudah ada di sini, aku akan menjemputnya. Anak buahku sedang mencari klinik aborsi untuknya. Kita bawa Hinata ke sana."

Hiashi hanya diam, terlalu banyak hal bergumul di kepalanya. Semua informasi yang dia terima ini membuatnya benar-benar terkejut sekaligus marah. Naruto dan Hinata telah mengacaukan segalanya.

"Jika besok kau tidak bisa membawa Hinata pulang, aku akan beritahu ayahku bahwa Hinata selingkuh dan hamil anak orang lain." Toneri berujar dengan emosi meluap sambil melangkah pergi meninggalkan Hiashi yang masih duduk diam dan menekan emosinya mati-matian setelah berbagai hinaan dia terima dari Toneri. "banyak keluarga bangsawan lain yang suka rela menjadi keluarga kami melalui pernikahan, daripada dengan keluarga yang munafik seperti Hyuuga."

Suara lemparan barang dan kaca terdengar nyaring setelah itu, pertanda sang empunya ruang merasa begitu marah.

Dengan napas yang tersengal karena ledakan emosi yang begitu besar, Hiashi meraih telepon di atas meja kerjanya kemudian menekan nomor telepon yang ada di atas kertas notulis, ini nomor telepon Naruto yang dia dapati dari orang suruhannya.

Suara dering panggilan keluar berbunyi halus, menandakan panggilan belum di angkat.

Hingga di dering ke enam, akhirnya suara baritone seseorang menjawab di seberang telepon.

"Naruto, temui aku dan bawa Hinata pulang malam ini juga."

...

SanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang