34

1.6K 285 6
                                    

Naruto mengusap punggung istrinya yang menarik napas dalam-dalam sebelum mereka melangkah masuk ke dalam gerbang  tinggi mansion besar milik Hyuuga tersebut.

Penjaga nampak terkejut saat melihat mereka namun Hinata hanya menatap lurus.

Seorang tetua yang kebetulan tengah berdiri di area halaman menatap mereka dengan keterkejutan dan kening yang menyerenyit. "Hinata?"

Hinata kemudian membungkukan tubuhnya dan memberi salam dengan begitu sopan. Itu adalah paman tertua dari keluarga Hyuuga. Sepertinya selama Ayah tidak ada di sini, tetua itu yang menggantikan ayahnya.

"Bagaimana kau-.." saking terkejut dengan kedatangan seorang yang telah hilang selama empat tahun lebih, ucapannya jadi sedikit terbata.

"Maaf mengejutkanmu, oji-sama." Hinata berujar lembut, tetap menjaga tata kramanya.

Tetua itu akhirnya menghela napas pelan setelah lepas dari rasa terkejutnya. Dirinya kemudian menatap seorang pria yang berdiri di samping Hinata dengan tatapan penuh selidik. "Masuklah, kita bicara." Dia tahu bahwa kedatangan mereka kemari pasti sebab suatu alasan.

...

"Jadi ke mana kau selama empat tahun terakhir?" Tetua itu menyesap teh dari cawan kecilnya.

"Aku di Inggris, bersama suamiku dan keluarganya." Hinata menjawab dengan tenang, saat ini tak perlu ada yang ditutupi lagi.

Tetua itu tersenyum dengan raut dingin. "Aku tidak mendengar adanya pernikahan. Kau menghilang bak ditelan bumi."

Naruto berdehem pelan. "Aku sudah menemui Hiashi empat tahun lalu, tidak perlu khawatir." Dirinya bahkan dengan senang hati menunjukan dokumen pernikahannya pada pria tua ini. Meski memang pernikahan itu tak disertai restu yang semestinya.

"Kudengar kau hamil Hinata, di mana anak itu?" Tetua mengetukan jemarinya di atas meja lesehan.

"Dia di Inggris." Hinata tahu, ayahnya pasti memberitahu para tetua soal alasannya pergi dari mansion.

"Apa dia perempuan atau laki-laki?" Tanyanya lagi.

"Laki-laki." Jawab Hinata dengan pandangan yang mengarah ke cawan teh. Lagi-lagi pembahasan soal ini.

"Beruntung sekali, padahal ayahmu yang sangat menginginkan anak laki-laki." Tetua itu tersenyum lagi.

Naruto mengusap tangan Hinata di bawah meja dengan lembut.

"Kau pasti sudah dengar kalau ayahmu dan Otsutsuki ditangkap akibat kasus korupsi itu." Tetua memulai pembicaraan inti yang dia yakini jadi alasan Hinata datang kembali kemari.

"Aku tahu." Hinata menjawab itu dengan singkat.

"Apa alasanmu kemari adalah hal itu?" Tanya pria tua itu penuh selidik.

"Ya, aku ingin mencari bukti transaksi hutang Otsutsuki, agar ayahku bisa keluar dari sel." Hinata berujar penuh keseriusan.

Tetua itu mendecih pelan "kau masih peduli pada ayahmu hm?" Empat tahun pergi dan sekarang anak itu kembali untuk membantu ayahnya, terdengar seperti bualan.

"Tentu saja dia peduli, maka dia datang jauh-jauh kemari untuk membantu ayahnya." Naruto menjawab ungkapan yang menyakiti istrinya tersebut.

"Ah, aku tidak tahu apa Hiashi akan mau menerima bantuan itu. Kurasa dia akan memilih membusuk dipenjara daripada dibantu oleh putrinya yang lari ke luar negeri bersama seorang pria." Tetua berujar cukup gamblang kali ini.

"Tidak apa kalau dia memang tidak sudi menerima bantuan, tapi setidaknya dia harus tahu bahwa putrinya sangat peduli padanya." Naruto sedang menahan amarahnya untuk tak lepas kendali saat terus saja mendengar pria tua itu memojokan Hinata. "Dan dia akan tersadar kalau pada akhirnya hanya putrinya yang bisa menolongnya, bukan keluarganya yang tidak pernah berkontribusi apa-apa selain memerasnya."

Hinata kemudian bangkit dari bantal duduk itu. "Aku akan mencari agendanya sekarang, maaf kalau ojii-sama terganggu dengan kedatanganku kemari."

Naruto lalu ikut melangkah keluar dari ruangan itu.

...

Hinata bergegas melangkah menuju ke sebuah ruangan di dekat dapur. Itu adalah kamar mendiang ibunya.

Begitu pintu geser kayu itu terbuka, Hinata merasakan sebuah sesak yang sulit dirinya jelaskan. Sejak kematian Ibu, dirinya tak pernah lagi masuk ke sini, karena rasanya masih sama menyakitkannya. Dia ingat saat di mana dirinya dipeluk Ibu semalaman sebelum kematiannya.

Naruto melangkah di belakang Hinata dan memberikan kekuatan untuk wanita itu. "Ayo, sayang." Dia akan membantu Hinata mencari.

Hinata lalu mengangguk dan mengenyahkan perasaan sedih itu menguasai dirinya "buku agenda dengan sampul kulit berwarna merah ati, ada nama Ibu di punggung bukunya." Dia memberitahu Naruto soal ciri buku agenda pribadi milik Ibu tersebut.

Tentu saja Hinata tidak tahu kapan dan di mana terakhir kali Ibu meletakannya, atau mungkin pelayan sudah membuangnya? Semoga saja tidak.

Keduanya mulai berpencar ke sudut kamar yang berbeda. Naruto melangkah ke buffet kaca yang ada di sudut ruangan, berisi buku-buku tebal. Dia menyisirnya dari bagian teratas.

Sedangkan Hinata mencari di kotak kayu yang tersusun di atas meja panjang dekat ranjang.

Ibunya adalah seorang wanita yang sangat gemar membaca maka kamarnya dipenuhi buku dan itu menjadi sebuah kesulitan tersendiri bagi mereka untuk menemukan di mana agenda itu berada di antara ratusan buku di kamar besar ini.

...

Naruto menyerenyitkan kening saat mendapati sebuah buku dengan ciri yang tadi Hinata sebutkan, dia menemukannya di dalam laci terbawah buffet tinggi. "Hinata, apakah benar ini?" Dia pergi menghampiri istrinya yang terduduk di atas lantai, dengan banyak buku berserakan di dekatnya.

Hinata tersentak dan meraih buku yang Naruto sodorkan padanya kemudian mengangguk sambil memejamkan mata untuk memanjatkan syukur. Nyaris tiga jam mereka berkutat di sini, mencoba mencari bukunya.

Naruto duduk di samping Hinata dan melihat wanita itu membuka buku agendanya.

Hinata membuka beberapa lembar halaman pertama. Buku itu memiliki berbagai kertas wrap yang ditempeli secara rapi dan ya, itulah yang dirinya cari, bukti transaksi itu.

"Transaksi ini." Naruto membaca perlahan isi agenda itu "jumlahnya benar."

Hinata lalu menatap suaminya dan mengangguk pasti. "ayo kembali ke Tokyo."

...

Shikamaru membaca berlembar-lembar bukti transaksi yang terlampir di dalam buku agenda itu. "Ibumu adalah seorang visioner."

"Apa itu benar bisa membantu ayahku?" Hinata bertanya khawatir. Dia takut bahwa itu tidak cukup sedangkan itu adalah satu-satunya bukti yang mereka miliki.

"Kupastikan ini cukup, Ibumu melampirkan semua berkas transaksi dengan detail. Shikamaru bahkan terkejut mendapati copyan rekening koran, struk asli transaksi, tanda tangan petugas bank yang melayani transaksi, bahkan sebuah surat perjanjian yang ditulis oleh Hiashi dan ditandatangani oleh Hamura soal kesepakatan itu.

Sebesar itu dulu ibu sangat mengkhawatirkan ayah hingga menyiapkan segalanya untuk kemungkinan terburuk."dia hanya ketakutan dulu."

"Dan ketakutannya jadi kenyataan saat ini." Shikamaru berujar prihatin. "Aku akan segera mengumpulkan ini dan bukti lainnya ke kejaksaan.

"Tolong proses dengan cepat Shikamaru." Pesan Naruto, dia hanya ingin masalah ini segera selesai.

"Pasti, kau jangan khawatir. Beristirahatlah kalian berdua, Hiashi mungkin bisa ditemui saat sidang beberapa hari lagi.

"Baiklah." Naruto mengangguk mengerti.

Shikamaru kemudian melangkah pergi dari resto hotel bintang lima tersebut untuk mengurus berkasnya.

...

SanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang