Hiashi menatap rangkaian bunga lego yang ditinggalkan cucunya di rumah ini.
Sore itu Boruto dijemput oleh Minato dan dibawa pergi begitu saja saat sedang tertidur jadi dirinya tak sempat memberi salam perpisahan.
Oh, salam perpisahan bukanlah hal penting untuk dilakukan saat perjumpaannya pun begitu singkat.
Namun bagi Hiashi, perjumpaan dengan cucunya kemarin adalah hal yang menyenangkan. Di antara satu dari sekian ribu hari yang pernah dilaluinya dalam hidup, hari itu mungkin salah satu yang terbaik.
Masih jelas dalam memorinya saat anak itu berlarian di sekeliling rumah ini. Bertanya ini dan itu dengan segala rasa penasaran yang tak ada habisnya.
Sejak hari itu pula Hiashi semakin termakan oleh rasa malu dan bersalah.
Mungkin ini takdirnya, seorang pendosa sepertinya harus berakhir sendirian. Seperti seberapa kejam dulu dirinya memperlakukan adik, istri, dan putrinya sendiri.
Sebagaimana dirinya selalu menolak uluran tangan orang lain, hari ini Hiashi ingin mengakhiri perjalanan panjang penuh liku di hidupnya seorang diri.
Butiran obat yang tadi digenggamnya berjatuhan ke atas lantai, sedangkan dirinya berbaring nyaman di atas ranjang besar itu, memejamkan mata perlahan sambil membiarkan rasa sakit di kepala memakan seluruh kesadarannya.
Dalam batas kesadaran yang perlahan tertarik ke alam baka, dia melihat semua mimpinya jadi kenyataan. Dirinya di sana, di sebuah ruang makan di mansion keluarga mereka, celoteh dan tawa terdengar begitu hangat dan menyenangkan.
Ya, dirinya di sana bersama istri dan putrinya, duduk bersama untuk menikmati makan malam yang begitu lezat, kemudian datang seorang anak laki-laki pirang yang sempat dipeluknya sore itu, pelengkap kebahagiaannya.
Hal yang dia impikan sebetulnya sangat sederhana. Namun sebuah kesalahan, membawanya semakin jauh dari mimpi sederhana itu.
Kini hanya maaf yang tak sempat terucap jadi penyesalan di penghujung napas terakhirnya.
Angin berembus agak kencang di Okinawa pagi itu, meniup curtain putih di kamar hingga ke luar jendela, membawa jiwa penuh penyesalan itu meninggalkan raganya yang tutup usia.
...
Naruto meraih ponselnya yang terus bergetar di atas meja. Sore tadi Hinata akhirnya diperbolehkan keluar dari rumah sakit maka malam ini mereka beristirahat kembali di hotel.
"Ada apa, Ayah?" Naruto mengerutkan kening saat mendapati belasan panggilan tak terjawab.
"Bergegaslah ke Okinawa malam ini, Hiashi meninggal dunia." Minato memberikan informasi yang sebetulnya tak ingin dia sampaikan pada Naruto dan Hinata namun dia harus melakukannya.
Naruto membelalakan matanya "apa?"
"Dia melakukan bunuh diri, overdosis lanoxin." Minato baru saja akan mengurus penerbangannya kembali ke Tokyo bersama istri dan cucunya namun dia mendapatkan berita ini dari seorang anak buahnya di Okinawa.
Katanya Hiashi ditemukan sore tadi sudah tidak bernyawa seorang diri di cottagenya dengan obat-obatan berserakan di atas lantai.
Sekarang Minato ada di rumah kremasi. Keluarga Hyuuga menutup rapat berita ini dari media maka hanya keluarga inti yang bisa ada di sini.
Naruto memejamkan mata sambil memijat kepalanya yang mendadak sekali terasa begitu sakit dan pening.
"Bawa Hinata kemari Naruto, dia harus lihat ayahnya sebelum dikremasi." Minato berpesan begitu, daripada penyesalan nanti menghantui seumur hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanity
FanfictionEven though we shouted out countless times, without it ever reaching one another but whenever you ask me again, how I feel, please remember my answer is you.