Suasana hening menyelimuti ruang kerja mewah di salah satu apartment elite kota Tokyo.
Seorang pria bersurai pirang berdiri di seberang meja kerja besar berisi banyak berkas pekerjaan.
"Di mana Hinata?" Hiashi bertanya dengan tatapan dingin.
Naruto tahu kalau dirinya akan dihadapi dengan situasi seperti ini. "Aku minta maaf tapi untuk saat ini aku tidak dapat mengatakannya."
Hiashi mendecak marah. "Kau berani bicara begitu di hadapanku?" Dia lalu berdiri dari kursi kerjanya, membawa sebuah buku tebal yang sejak tadi memang dia tengah baca.
Naruto masih berdiri dan bergeming di sana saat ayah Hinata melangkah mendekat.
Suara pukulan keras terdengar setelah itu karena Hiashi memukul wajah pria muda di hadapannya dengan buku tebal yang dia bawa. "Kau menghamili putriku?"
Naruto tidak terkejut kala dia mendapati pukulan keras tepat di wajah. Dia mengusap pelipisnya yang terasa perih dan mendapati darah tipis membasahi punggung tangannya.
"Kau menghamilinya hm?" Hiashi kembali bertanya dengan nada tajam yang menusuk. "Katakan brengsek!"
Naruto menatap amethyst ayah Hinata dengan tanpa keraguan. Dirinya sudah sejauh ini dan tak akan ada lagi jalan mundur. "Aku minta maaf."
Hiashi kembali melayangkan pukulan keras ke wajah Naruto, kini tidak hanya sekali atau dua kali namun secara terus menerus hingga napasnya terengah.
Naruto tentu saja tidak melawan, dia terima kemarahan seorang ayah yang mendapati putrinya dihamili di luar ikatan pernikahan, dia terima hukuman atas kesalahannya.
Buku tebal itu nampaknya tak sanggup menahan pukulan-pukulan kuat yang dilayangkan sang empunya, hingga jatuh ke lantai. Beberapa lembar isinya terserak bersamaan dengan darah di pelipis Naruto yang mulai menderas.
"Katakan padaku kau memaksanya?" Hiashi menarik kerah kemeja yang Naruto kenakan kuat-kuat.
Naruto membiarkan darah di pelipisnya turun hingga ke kerah pakaian, matanya menatap tepat ke amethyst yang dipenuhi rasa marah tersebut. "Aku tidak pernah memaksanya."
Hiashi kini mendorong tubuh Naruto hingga ke dinding dengan tetap menarik kerah kemejanya kuat-kuat. "Bawa Hinata kemari."
"Pukuli saja aku." Naruto tentu tidak bodoh ataupun gila dan membawa Hinata kemari. Bahkan dia datang kemari tanpa memberitahu Hinata. "Sampai kau merasa puas."
Hiashi menggeram marah sambil melayangkan satu tamparan keras di wajah Naruto. "Memukulimu sampai mati di sini pun tak akan ada gunanya. Kau mengacaukan segalanya."
Naruto menatap penuh arti pada ayah Hinata saat dia mengatakan soal kekacauan. "Maaf jika kau gagal mendapat apa yang kau inginkan dari pernikahan itu."
"Kau tahu apa soal keluargaku?" Hiashi bertanya penuh penekanan.
"Berhentilah menyakiti Hinata demi keuntunganmu, dia itu putrimu bukan benda mati yang bisa kau jual pada rekan politikusmu." Naruto akhirnya bisa mengatakan ini di depan ayah Hinata setelah sekian lama memendamnya.
"Jaga bicaramu, kau benar-benar tidak tahu malu!" Hiashi berujar dingin dengan mata menatap nyalang.
"Toneri memukulinya, selingkuh darinya, dan kau terus menutup mata. Kau ingin putrimu menikah dengan orang seperti itu?" Naruto tak habis pikir dengan apa yang ayah Hinata selalu lakukan tiap kali Hinata mengadu soal kebrengsekam Toneri.
"Ucapanmu barusan benar-benar tidak pantas keluar dari mulut bajingan sepertimu." Hiashi menampar kembali wajah Naruto keras-keras. "Aku tidak butuh pertanggung jawabanmu, aku akan lenyapkan bayi itu dari putriku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanity
FanfictionEven though we shouted out countless times, without it ever reaching one another but whenever you ask me again, how I feel, please remember my answer is you.