10

2.1K 311 14
                                    

Hinata melangkah masuk ke kamarnya yang gelap gulita. Dia baru saja kembali dari kantor setelah menyelesaikan banyak pekerjaan.

Musim semi telah tiba, tapi dingin di udara Okinawa belum hilang sepenuhnya, pun matahari belum juga terbit sebagaimana biasanya.

Wanita itu duduk di kursi meja riasnya, meletakan tas tangannya di sana dan mengeluarkan ponsel yang ada di dalamnya.

Beberapa notifikasi menghinggapi ponselnya, namun tak ada nama Naruto muncul di sana seperti biasa.

Hinata mengembuskan napas pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Lagi-lagi kekacauan menemaninya malam ini. Bukankah lucu sekali mendapati hati selalu menipu diri sendiri?

Itulah yang Hinata rasakan selama ini. Sejak kecil hingga hari ini, tak pernah dirinya menjadi diri sendiri. Berbagai aturan menuntunnya untuk bersikap dan bertingkah laku.

Kadang dia bertanya-tanya, seperti apa dirinya yang sesungguhnya?

Tapi Hinata selalu teringat bahwa dirinya sesekali jadi diri sendiri saat dia bersama dengan Naruto di sampingnya.

Tertawa lepas di sampingnya atau menangis di bahunya selalu terasa lebih baik bagi Hinata daripada harus mengulas senyum tipis yang kata banyak orang, nampak anggun.

Hinata rindu pria itu. Setelah pertemuan mereka di lorong mansion, di akhir musim dingin, mereka tak lagi pernah bertemu atau saling bicara meski hanya via telepon.

Wanita itu beranjak menuju ranjang, membaringkan tubuhnya yang begitu letih di sana sambil mengingat kembali pembicaraan mereka.

Andai pria itu tahu, tak sekalipun dirinya menginginkan perpisahan itu.

Karena apa ada orang tahu seberapa bahagia dirinya selama musim dingin lalu? Sangat bahagia, sampai dia pikir itu bukan kenyataan.

Hinata bahkan lebih senang menghabiskan malam menatap pria itu daripada tertidur dan akan jauh lebih senang kalau bisa terjaga dengan pria itu masih di sampingnya.

Tapi malam seperti itu apakah akan terjadi lagi dalam hidupnya? Hinata ragu pada jawabannya, atau bahkan nyaris yakin kalau jawabannya adalah tidak mungkin.

Satu air matanya menetes turun ke pipi, dia berbaring di sana memeluk diri sendiri. Meski sampai nanti mereka mungkin tak lagi bisa saling bicara, Hinata ingin Naruto tahu bahwa pria itu adalah cinta pertamanya dan hingga hari ini belum ada seorangpun yang bisa menggantikannya.

Entah sampai kapan? Mungkin selamanya.

...

Flashback

Mereka turun dari bus terakhir malam itu, selepas pergi ke acara prom night sekolah bersama.

Naruto meraih tangan Hinata yang melangkah turun dari bus setelahnya.

"Kakimu terluka?" Tanya Naruto saat melihat Hinata berjalan agak tertatih. Mereka butuh berjalan beberapa menit sebelum tiba di area perumahan di mana mereka tinggal.

Hinata menatap kakinya dan mengangguk. Dia sepertinya telah memilih sepatu yang salah untuk malam ini karena sungguh ini terasa sangat menyiksa.

"Lepaskan saja." Naruto meraih pergelangan tangan Hinata.

Ini nyaris tengah malam dan berjalan tanpa alas kaki bukan hal yang memalukan karena tak akan ada seorangpun melihatnya.

SanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang