Naruto meraih tangan istrinya dan menggenggamnya dengan lembut, wanita itu nampak gusar selama perjalanan. Mereka berada di pesawat sekarang, dalam perjalanan menuju Tokyo.
"Ayahku tidak akan ditahan kan?" Hinata mencoba menenangkan diri sendiri dari rasa takut yang terus menggerogoti isi kepalanya.
Naruto menghela napas, dia tidak ingin membuat Hinata berharap lebih pada keadaan yang mungkin saja sangat kacau di Tokyo. "apa ayahmu pernah melakukan hal ilegal di politik yang berkaitan dengan Otsutsuki?"
Hinata menggeleng "meski ayahku orang yang keras, dia adalah orang yang jujur." Dia tahu benar bagaimana ayahnya bekerja karena selama dirinya terikat perjodohan itu, ayahnya selalu membawanya bertemu dengan teman-teman politikusnya tetutama keluarga Otsutsuki.
Kalau soal uang Naruto percaya, Hyuuga adalah keluarga kaya, sangat kaya sampai layak disebut bangsawan lama meski mereka lebih menjunjung adat dan adab daripada kehidupan glamour. Jadi Hiashi rasanya memang tidak mungkin terlibat kasus korupsi. "bagaimana soal ambisinya?"
"Itu satu-satunya hal yang salah, ayahku sangat berambisi menduduki parlemen pusat. Dia mengeluarkan banyak sekali uang untuk bisa ada di sana." Hinata sebelumnya tidak pernah memberitahu Naruto soal politik keluarganya tapi mungkin saat ini dirinya harus memberitahu.
"Uang apa? Dia membeli kursi parlemen?" Naruto tidak yakin, karena politik Jepang begitu ketat dan kompetitif karena dulu ayahnya juga pernah berkecimpung di dunia yang sama. Namun ayahnya bukanlah seorang ambisius dalam pekerjaan, dia bahkan melepaslan jabatan tertinggi Kedubes Inggris untuk bersantai dan jadi Diplomat.
Hinata lalu memberitahu Naruto soal sejarah piutang antara Hyuuga dan Otsutsuki. Setiap detail dan rentetan kejadian di masa lalu, dia ingin suaminya tahu.
Naruto memejamkan kelopak matanya sambil memijat pelipis, sekarang dia mengerti kenapa Hinata selalu merasa tertekan tiap kali membahas soal perjodohan dengan si brengsek itu. Hyuuga sangat ketakutan kalau piutangnya tidak dibayar sedangkan Hiashi begitu percaya pada Hamura.
Intinya, Hiashi sudah diperas dan ditipu oleh Hamura selama belasan tahun lamanya.
"Ayahmu malang sekali." Naruto berujar prihatin sekarang, dia tahu sikap keras kepala Ayah Hinata soal perjodohan itu sekarang bermuasal dari mana namun sikapnya mengorbankan Hinata tetaplah kesalahan.
"Itulah kenapa Ibu sangat menentang ayahku berhubungan dengan Otsutsuki. Tapi Ibu bisa apa?" Hinata sering sekali melihat Ibu dimarahi oleh ayahnya karena selalu menentang dan melarang.
"Hinata." Naruto mengusap punggung tangan Hinata dengan lembut. "Kuatlah, ya." Mungkin masalah ini akan menguak semua luka masa lalu Hinata, soal trauma masa kecil dan rasa sakitnya.
...
"Apa yang kau katakan di hadapan penyidik?" Hiashi bertanya pada Hamura dengan tatapan tajam.
Hari ini akhirnya mereka dipertemukan di sebuah ruang tunggu sebelum masuk ke persidangan.
"Keterlibatanmu." Hamura berujar datar. Dirinya tak lagi mengelak atau mencoba untuk lepas dari jerat hukum karena dirinya sudah tahu benar bahwa riwayatnya sudah tamat sejak penangkapan. Tapi satu hal, dirinya tak ingin hancur sendirian.
Hiashi menggebrak meja keras-keras. "Apa yang kau katakan?!"
Hamura hanya menatap kosong ke depan. "Kau terkejut hm? Kehancuran bisa datang kapan saja Hiashi."
"Begini caramu berterima kasih?" Hiashi berteriak marah. "Lima belas tahun kau menahan uangku dan kau bilang itu hasil korupsi?!"
Hamura tertawa pelan. "Itu memang dana anggaran pembangunan yang kugunakan untuk membayar hutang. Aku hanya mengatakan kebenaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanity
FanfictionEven though we shouted out countless times, without it ever reaching one another but whenever you ask me again, how I feel, please remember my answer is you.