Naruto meletakan potongan daging yang sudah matang di dalam mangkuk Hinata. Wanita itu nampaknya masih sangat gusar karena masalah yang menimpa ayahnya. "Makanlah."
Hinata lalu mengangguk dan meraih sumpitnya di atas meja. "Naruto."
"Ya?" Naruto menoleh ke arah istrinya.
"Bolehkah Bolt datang ke Jepang? Aku rindu sekali padanya." Hinata tidak bisa tidur semalaman ini karena Bolt meneleponnya sambil menangis. Sudah seminggu mereka tak bertemu, anak itu sepertinya mulai merasa sedih.
"Aku sedang memikirkannya juga." Naruto berujar serius, karena Hinata hamil dan dia tidak dibolehkan melakukan perjalanan udara dalam waktu dekat, sepertinya Bolt harus dibawa kemari. "Kau tidak bisa kembali ke Inggris dalam waktu dekat karena kehamilanmu, jadi kita harus membawa Bolt kemari."
"Maaf membuatmu benar-benar kesulitan di sini." Hinata sebenarnya merasa sangat sungkan untuk meminta tapi dirinya benar-benar ingin putranya ada di sini.
"Tidak Hinata, jangan merasa begitu." Naruto tahu semua ini adalah bagian dari tanggung jawabnya juga." Tentu saja dirinya juga sangat ingin menemui putranya saat ini.
"Bagaimana soal pekerjaanmu?" Hinata khawatir kalau suaminya harus segera kembali ke kantornya di Inggris karena proyek pekerjaan besarnya baru berjalan.
"Kebetulan sekali, ada beberapa berkas yang harus diurus di kantor Tokyo. Aku bisa berada di sini sedikit lebih lama." Naruto terus melakukan komunikasi intens dengan kantornya setiap hari dan tetap melakukan pekerjaannya meski berada jauh di sini.
Hinata mengangguk lalu meraih tangan Naruto di atas meja. "terima kasih."
"Berjanjilah satu hal padaku." Naruto ingin Hinata mengatakannya sekali lagi. "Begitu semua urusan di sini selesai, kita kembali ke London."
"Pasti." Hinata juga tak mungkin terus di Jepang, seolah mengkhianati kebaikan Naruto dan keluarganya.
"Soal ayahmu, aku hanya bisa berharap hal baik terjadi dan dia dibebaskan." Meski masih ada setitik rasa sakit di hati Naruto, tentu dia ingin ayah Hinata dibebaskan. Bagaimanapun juga dia adalah orangtua Hinata satu-satunya saat ini.
"Kuharap begitu." Hinata kini kembali menatap dengan pandangan sendu. "Meski nanti ayahku tak ingin menemuiku lagi atau tak bisa menerimaku sebagai putrinya, aku tidak apa-apa, asalkan dia hidup dengan baik di sini."
"Percayakan semuanya pada Shikamaru, dia pasti bisa menangani ini." Naruto kembali menenangkan istrinya.
...
"Hinata ada di Tokyo bersama suaminya." Shikamaru memberitahu Hiashi, hari ini mereka ada janji temu sebelum persidangan.
Hiashi sempat tersentak, namun wajahnya kembali mengeras setelah mengingat apa yang anak kurang ajar itu sudah lakukan. "Untuk apa?"
Shikamaru mendengkus pelan, sangat pelan hingga tak kentara. "membantumu lepas dari penjara."
"Omong kosong macam apa itu?" Hiashi tentu saja tidak percaya. Dirinya sudah mendekam di dalam sel selama satu bulan penuh, mengalami pergolakan batin yang nyaris membuatnya gila, tak satupun anggota keluarga datang dan berusaha menolongnya. Begitupula putrinya yang sudah dia anggap mati sejak empat tahun lalu.
"Aku sudah menyerahkan bukti transaksi lima belas tahun lalu, agar kau bisa segera keluar dari sini." Shikamaru mengeluarkan sebuah amplop dari dalam clutch yang dia bawa.
Hiashi tersentak "kau dapatkan dari mana?" Dia merampas amplop itu dan membuka surat yang ada di dalamnya, pernyataan bahwa tambahan barang bukti telah diterima kejaksaan.
"Istrimu menyimpannya dengan sangat rapi di dalam sebuah buku agenda. Hinata memberitahuku, lalu dia pergi ke Okinawa, ke mansion Hyuuga untuk mencari agenda ini dan dia menemukannya." Shikamaru ingin Hiashi sadar sekarang bahwa di tengah keputusasaan mereka, Naruto dan Hinata datang memberi uluran tangan.
Siapa yang tahu kalau Hikari pernah menyimpan itu? Jawabannya adalah tidak ada orang lain yang tahu, selain Hinata.
"Kau yakin itu dapat membebaskan aku?" Hiashi bertanya sekali lagi.
"Ini sedang dipertimbangkan kejaksaan, kau hanya perlu berdoa." Shikamaru sebenarnya yakin bahwa bukti itu akan diterima, dirinya hanya perlu mengumpulkan orang-orang yang terlibat dalam transaksi itu.
Hiashi terdiam mendengarnya, padahal dirinya sudah menyiapkan diri kalau memang harus mendekam di sel selama akhir hidupnya.
"Hinata akan menemuimu di persidangan selanjutnya, kau sudah boleh menerima kunjungan pada saat itu." Shikamaru menyampaikan berita baik soal dibukanya kuota kunjungan untuk para terdakwa.
Hiashi tak mengatakan apa-apa. Dia ingin tahu apa yang anak itu ingin katakan setelah empat tahun tak bertemu.
...
"Bolt akan naik pesawat." Boruto melambaikan tangannya ke arah ibu dan ayahnya.
"Tidurlah di sepanjang perjalanan." Pesan Naruto pada putranya.
"Bolt tidak mengantuk, Bolt lapar sekarang." Anak itu bergumam sambil mencebikan bibirnya.
Naruto terkekeh "kau selalu lapar hm?" Dia menatap putranya yang nampak menggemaskan di layar kaca. Dia mengenakan mantel tebal dengan penutup kepala berwarna marun lengkap dengan tas punggung kesayangannya.
"Iya!" Anak itu berseru semangat, dia sudah tidak sabar ingin bertemu ayah dan ibunya.
"Hati-hati diperjalanan ya, ikuti apa kata pramugari di pesawat." Hinata duduk di samping suaminya, melakukan video call bersama putra mereka yang akan berangkat ke Tokyo sebentar lagi.
Boruto lalu mengangkat tangannya, mengikuti gerakan pramugari saat memasang seatbelt. "Seperti ini ya, bu?"
Hinata terkekeh pelan, anak itu semakin pintar dan menggemaskan meski hanya beberapa waktu berlalu. "Iya, Bolt pintar sekali." Anak itu sudah beberapa kali berpergian dengan pesawat maka anak itu seharusnya tidak terkejut, namun ini akan jadi penerbangan terpanjangnya karena memakan waktu lima belas jam atau bahkan lebih.
"Sampai bertemu Ayah, Ibu.." Boruto melambaikan tangannya lagi, karena kakeknya memanggilnya untuk bersiap.
"Lihat putra kalian sangat bersemangat kan." Kushina mengambil alih tablet itu dan bicara pada anak-anaknya.
"Ya, dia mungkin sangat merindukan ibunya." Naruto merangkul bahu Hinata dan mengusapnya dengan lembut.
"Sangat, dia tidak bisa tidur sepanjang malam karena tidak sabar." Kushina sebenarnya merasa benar-benar kasihan melihat Bolt sangat rindu pada ayah dan ibunya. Syukurlah akhirnya Naruto memintanya dan Minato untuk membawa anak itu menyusul ke Jepang.
"Ibu, hati-hati diperjalanan ya, kami titip Bolt." Hinata berujar tulus pada ibu mertuanya.
"Ya, jangan khawatir. Sampai bertemu di sana ya." Kushina kemudian berbisik "jaga cucuku yang satu lagi ya."
"Iya bu." Hinata mengusap perutnya dengan lembut. Ini sama sekali belum terlihat karena kandungannya masih begitu muda.
"Ibu belum memberitahu Bolt kan?" Tanya Naruto penuh selidik, dirinya meminta ini dirahasiakan sementara dari Bolt karena mereka harus memberitahu berita itu secara langsung.
"Belum, kami serahkan pada kalian berdua di Tokyo nanti." Kushina tidak tahu reaksi apa yang Bolt akan tunjukan nanti.
"Baiklah." Naruto mengangguk "sampai bertemu." Ujarnya sebelum menutup panggilan video itu.
Naruto kemudian meletakan ponselnya di atas meja dan duduk bersandar di sofa. "Bolt akan ada di sini besok, semoga kau bisa merasa sedikit lebih baik."
Hinata tidak tahu harus bagaimana lagi mengucapkan terima kasih pada pria itu yang selalu memberi apa yang dirinya butuh dan inginkan. "Aku beruntung sekali memilikimu."
Naruto mengecup pelipis Hinata dengan lembut. "Aku hanya ingin kau baik-baik saja, tapi jika kau merasa beruntung memilikiku, kau harus tahu bahwa akupun sama."
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanity
FanfictionEven though we shouted out countless times, without it ever reaching one another but whenever you ask me again, how I feel, please remember my answer is you.