08. Areta

276 38 27
                                    

"Jemput gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jemput gue. Tempatnya udah gue kirim lewat WA."

"Apaan anjing?!"

Agas langsung mematikan telepon saat dirasa Aren hendak melemparkan umpatan lagi. Masa bodo dianggap tidak sopan menelpon pagi-pagi buta.

Agas duduk merenung diteras masjid yang masih kosong. Biasanya jika di kompleknya, pukul segini masjid sudah dipenuhi bapak-bapak yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an sampai menjelang adzan.

Diam-diam dia merasa bersalah telah mengatakan hal demikian pada Nana dan Ragas. Mau bagaimana pun tadi Agas dalam keadaan emosi yang membuat apa yang ada didalam kepalanya dia katakan begitu saja.

Perkataan Agas tentu saja tidak sepenuhnya benar. Bagaimana pun, Agas sangat senang saat Ayahnya bilang, Agas akan mempunyai ibu lagi waktu itu. Ibu yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang hingga ia bisa sebesar ini.

Agas melirik ke sebrang jalan dimana seharusnya ada mobil sang ayah disana. Agas menghela napas, Ayahnya meninggalkannya. Entah karena marah ataupun percaya bahwa Agas dapat pulang sendiri kerumah. Yang jaraknya terhitung tiga jam lagi dari sini.

Tengah diterpa bingung harus berbuat apa selagi menunggu Aren datang dan kondisi ponselnya tinggal 5%, seseorang menepuk bahu Agas.

Agas segera menoleh. Dan dikejutkan oleh seorang ustadz berpakaian serba putih menatapnya heran.

"Bukan orang sini ya, Mas?"

Agas menggeleng, "Bukan, pak. Saya dari Bandung." jawabnya.

"Bukan maling, kan?" tanya ustadz tadi. Kali ini Agas menggeleng sambil tersenyum tak enak. "Bukan, kok, pak. Saya tadi singgah sebentar terus ditinggal sama yang punya mobil. Jadi kesini, nunggu dijemput." jelas Agas agar tak kembali salah paham.

Memangnya tampang Agas terlihat seperti tukang maling kotak amal gitu? Atau pakaiannya yang serba gelap ini membuatnya terlihat seperti komplotan pencuri, ya?

"Ohh begitu ya. Duh maaf-maaf ya, mas. Saya kira tadi memang maling. Soalnya minggu-minggu belakangan ini kotak amal selalu ilang pas subuh-subuh gini. Mana sudah diganti beberapa kali juga, tetep gak ketangkep malingnya." jelas pak ustadz panjang lebar. Agas mengangguk-angguk mengerti.

"Parah banget, pak. Kalau sudah beberapa kali diganti tapi masih ilang juga." komentarnya.

"Iya, duh. Gak kapok-kapok malingnya." Keluh Pak ustadz sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Keduanya terlibat percakapan ringan. Tentang maling yang terus-menerus merampok kotak amal dan tidak tertangkap, masjid yang akhir-akhir ini sepi terus, dan bahkan mengobrolkan kenapa harga bakwan di warung-warung naik. Yang biasa lima ratus rupiah satu biji, jadi tiga ribu dua biji.

Sampai tak dirasa waktu shalat subuh tiba. Agas segera mengambil wudhu, sedangkan pak ustadz melantunkan Adzan subuh, memanggil para warga untuk segera menunaikan ibadah shalat.

Three or NothingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang