13. Terjebak berdua

253 43 9
                                    

Tangisan semesta mengguyur kota di pagi-pagi buta. Dan seorang gadis telah tiba di sekolah bahkan sebelum gerbang sekolah dibuka. Sepatu hitamnya terpaksa mendarat diatas genangan air.

Rambut pirangnya membuatnya terlihat begitu indah. Menyala ditengah-tengah gelap. Pak satpam yang sudah berjaga sejak tadi malam langsung saja menghampiri.

"Neng Ata kok jam segini sudah kesini aja? Apa engga kepagian Neng?"

Agatha yang ditanyai nyengir. "Ata ikut Mami sama Papi yang dapet jadwal pagi, Mang. Daripada dirumah sendirian jadi berangkat sekarang aja."

"Oh begitu," Pak Satpam yang bernama Mang Riswan itu mengangguk-angguk mengerti. "Yasudah atuh, Neng mau langsung masuk atau nungguin di pos satpam saja sama saya?"

Agatha menggeleng, "Ata mau nunggu di dalem aja, Mang. Di koperasi. Sekalian mau beresin barang dagangan anak OSIS."

"Enggak takut sendirian Neng?"

"Enggak kok, Mang."

"Yasudah atuh, ini kuncinya. Tadi juga ada siswa yang udah masuk, terus bilangnya mau ke koperasi. Dari jam dua malam malahan. Katanya dia anak OSIS juga kaya Neng." Kata Mang Riswan sambil memberikan kunci ruang koperasi pada Agatha selaku anggota OSIS tahun lalu.

Dahi Agatha berkerut bingung, tapi tak ambil pusing, dia segera mengambil kunci tersebut dan memasuki pekarangan sekolah.

"Halo, Na?"

"Apaan?" samar-samar suara Aruna terdengar.

Ya, demi mengatasi kepanikannya karena sendirian di sekolah sebesar ini, Agatha memilih untuk menelepon seseorang. Sebenarnya ini telepon group. Tapi baru Aruna saja yang menjawab teleponnya.

"Lo masih di kasur kah?"

"Huum, gue baru bangun. Ada apa, Ta?"

Agatha menghela napas panjang, "Gue udah di sekolah."

"Hah? Becanda Lo?" suara Aruna terdengar tidak jelas. Agatha mengkerutkan dahinya heran. Temannya ini setengah sadar atau bagaimana?

Sambil berjalan dengan sedikit tergesa menuju ruang koperasi dilantai dua, di sebelah gedung kelasnya, Agatha menjawab. "Seriusan, gue udah di sekolah. Ini lagi jalan mau ke koperasi. Dingin banget, Na."

"Pinter banget sih, Ta." decak Aruna heran. "Gue tau Lo gak sabar buat sekolah, buat belajar. Tapi gak harus berangkat jam setengah lima pagi juga dong."

Agatha menghela napas berat setelah sampai diujung tangga lantai dua. Bulu kuduknya berdiri begitu melihat lorong lantai dua yang sepi dan gelap. Hanya terdapat lampu remang-remang yang menyinari penglihatannya.

"Gue ikut Mami sama Papi yang kebagian jadwal pagi, Na. Males kalau harus sendiri di rumah."

"Ya elo bisa turun di rumah gue kek, di rumah Agas kek. Jangan ke sekolah sendirian lah, rawan. Apalagi pagi-pagi buta gini. Lo gak lupa sama kasusnya Mang Riswan dua tahun lalu kan?" ujar Aruna yang makin memelan di akhir kalimatnya.

"Inget." jawab Agatha pendek.

Selagi Aruna mengomel, Agatha berlari kecil menuju koperasi diujung koridor. Sialnya waktu terasa begitu lambat saat Agatha mulai ketakutan. Dingin menyelimutinya, suara hujan yang tak kunjung berhenti membuatnya makin takut.

Apalagi ditambah mendengar seruan seseorang yang memanggilnya dengan keras dari bawah. Agatha segera panik, ia tahu jika satpam penjaga sekolah tersebut sedang berjalan menuju lokasinya.

Three or NothingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang