18. Salah Paham

216 41 13
                                    

Beberapa jam yang lalu, saat Agas keluar dari kelas. Ia berpapasan dengan Aren yang tidak sengaja meninggalkan ponselnya di kelas. Jadilah laki-laki itu kembali.

"Belum pulang Lo?" tanya Agas basa-basi.

"Keliatannya?"

Agas memutar bola matanya malas. Memang benar, berbicara dengan Aren adalah salah satu hal yang paling menyebalkan di dunia ini.

"Udahlah, gue buru-buru. Gue duluan, Ren." Kata Agas sambil menepuk bahu Aren pelan dan berlalu pergi.

Agas tidak menyadari jika Aren sudah sedari tadi menunggu di luar. Sampai tak sengaja mendengar percakapan mereka di dalam.

Tanpa mengambil ponselnya lebih dulu, Aren berbalik. Meneruskan niatnya untuk pulang. Masa bodo dengan ponsel, ia bisa membelinya lagi.

Entah perasaannya saja atau bagaimana. Sore ini terasa begitu panas. Apalagi begitu melihat Nadiva yang diboncengi Agas, hendak pulang.

Aren melonggarkan dasinya yang terasa begitu sesak. Bukannya ia belum bisa move on seperti yang dikatakan Aruna dahulu, tetapi, Aren hanya merasa sedikit kehilangan.

Kehilangan sosok Nadiva yang hangat dan ceria. Yang selalu mengisi hari-hari Aren yang selalu suram. Kehilangan Nadiva bersama hilangnya sosok ayahanda tercinta membuatnya semakin merasa terpuruk.

Tersadar makin larut memikirkan hal yang sudah usai, Aren berdecak kesal. Ia lantas saja langsung meraih helm dan menaiki motornya. Motor hitam milik Aren membelah jalanan kota.

Lima belas menit cukup untuk sampai di rumah seorang gadis yang tengah memangku dagu di teras depan rumahnya.

Aren turun dari motor. Membuka pagar, dan langsung masuk ke rumah begitu saja. Mengabaikan figur Aruna yang bertanya-tanya dengan kedatangan Aren yang tiba-tiba ini. Padahal, Aruna belum cukup siap bertemu dengan siapapun saat ini. Tapi melihat Aren yang begitu santainya melewati Aruna, Aruna pikir memang tujuan Aren bukanlah dirinya.

"Papa sama Mama mana?" tiba-tiba saja Aren kembali dan menyapa Aruna dengan pertanyaan yang sudah jelas sekali jawabannya. "Ya kerja, lah."

Aren mengerutkan keningnya heran, "Mama juga kerja?"

"Iyalah, Mama kan bukan pengangguran." jawab Aruna serak.

Aren berdecak kesal. Ia tarik tangan Aruna agar mengikutinya. "Ck yaudah! Ikut gue Lo!"

Aruna melotot, "Gak jelas banget! Apa-apaan sih, Ren?"

"Udah ikut aja, daripada Lo bosen di rumah sendirian. Lagian Mama sama Papa ngapain sih ninggalin Lo sendiri, bukannya Lo lagi sakit ya?" kata Aren sambil memberikan helm pada Aruna.

Aruna menghela napas, "Gak tau, Ren. Dari gue bangun aja, di rumah udah gak ada siapa-siapa."

Aren ikut menghela napas, "Yaudah. Gak usah di pikirin." katanya, sambil merapikan anak rambut Aruna yang berjatuhan kedepan membuat mata Aruna sedikit terhalangi. "Pinjem hp Lo, bentar."

"Mau ngapain?" tanya Aruna sambil menatap Aren heran.

"Mau ngirim pesan ke Agas. Hp gue ketinggalan di sekolah." ujar Aren.

"Ada diatas, di kamar. Seharian ini gue gak pegang hp, Ren." jawab Aruna.

Aren mengangguk mengerti. "Lo tunggu disini, gue bawa hp Lo keatas." kata Aren sebelum berjalan sedikit tergesa hendak mengambil ponsel Aruna.

Aruna pasrah saja. Ia menunggu sebentar, sampai Aren kembali. Dengan ponsel di tangan kirinya, dan sebuah jaket milik Aruna yang ia tinggalkan diatas ranjang, seingatnya.

Three or NothingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang