Aruna bergegas menuju rumah Agas begitu menerima telepon dari Ragas. Tentang kegaduhan yang dibuat Agas di kamarnya. Ragas sedang tidak ada di rumah, hanya ada Nana dan Naina. Jadi Ragas meminta bantuan kepada Daniar. Meminta untuk di cek. Sebab Ragas sedang dalam perjalanan yang jauh.
Naina dan Nana tidak berani untuk sekadar bertanya. Mereka memilih untuk melaporkannya pada Ragas.
"Runa masuk ya, Bun." kata Runa meminta izin.
Nana mengangguk, "Kalau ada apa-apa langsung panggil Bunda ya?"
Runa mengangguk. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya masuk ke kamar Agas. Kamarnya terkunci, tetapi untungnya Nana mempunyai kunci cadangan. Jadi Aruna dapat masuk dengan mudah.
Pintu kamar Agas terbuka. Aruna langsung disuguhi pemandangan yang sangat menyebalkan.
Kamar Agas sudah seperti kapal pecah.
Aruna sibuk mengomel sambil mencari kemana perginya pemilik kamar ini.
"Gas?"
"Ngapain kesini?"
Aruna tiba-tiba mendengar suara tak asing itu. Ia segera mencari sosok Agas dalam gelap. Walaupun tak lama ia langsung beradu tatap dengannya.
"Dipanggil Ayah."
Agas berdecak, "Pulang, Na. Gue lagi gak pengen ngobrol."
Aruna menipiskan bibirnya, "Gue temenin ya, Gas? Mau ngobrol atau enggak juga gak apa-apa. Gue tetep disini." kata Aruna dengan sorot mata khawatir.
Agas dengan jelas bisa merasakan hal itu.
"Yaudah, sini." katanya. Menyuruh Aruna untuk menghampirinya. Duduk di sudut ruangan sambil melamun.
Karena Agas sendiri tidak bisa memungkiri. Saat ini ia butuh seseorang untuk menjadi sandaran.
Aruna menurut. Ia segera menghampiri Agas dan duduk di sebelahnya.
"Na, Lo pernah denger kata-kata gini gak?" sebuah pertanyaan muncul dari mulut Agas setelah lama berdiam diri.
Aruna yang duduk disampingnya menoleh, "Apa?"
"Bukan aku yang hebat, tetapi do'a ibuku yang hebat." jawab Agas setengah gemetar. Setelahnya ia mengusap wajahnya frustasi.
"Gimana gue bisa berhasil, Na? Sedangkan punya sosok ibu aja gue gak punya."
"Bunda juga kan ibu Lo, Gas." Aruna menyahut pelan. Berusaha menyadarkan laki-laki itu bahwa masih ada sosok ibu yang bersedia merawatnya bertahun-tahun.
Agas mengangguk, "Tapi kayaknya do'anya dia selalu lari ke Naina, ke Ayah. Bukan ke gue, Na."
Aruna menarik napas dalam. Rasanya dadanya sudah tidak sanggup menahan sesak. Ia ingin menangis untuk Agas. Tetapi ia malu, rasanya sangat kurang ajar mengambil hak menangis dari orang yang tersakiti.
"Gas, gak boleh gitu." tegur Aruna pelan.
"Gak tau, Na. Gue bingung. Gue rasanya pengen marah sama siapa aja. Sama Lo yang lagi nenangin gue ini, sama Ata yang lolos, sama Ayah Bunda yang bahkan gak nanya gimana hasilnya, atau sama Naina yang bahkan udah gak menaruh harap sama gue, Na? Gue harus marah ke siapa? Sama tuhan?"
"Sama tuhan yang udah ambil ibu dari gue? Atau yang udah ambil seluruh kasih sayang ayah sama gue, Na? Ke siapa gue harus marah? Bilang sama gue!"
"Agas!" seru Aruna. "Lo jangan kaya gini! Katanya Lo ikhlas? Katanya Lo bakalan terima apapun hasilnya, Gas. Terus kenapa harus gini? Jangan bikin diri Lo terlihat menyedihkan, Gas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Three or Nothing
Fiksi RemajaSemua orang juga tahu, di mana ada Agatha pasti ada Aruna dan Agas dibelakangnya. Di mana ada Aruna, pasti ada Agas dan Agatha disampingnya. Begitulah mereka, selalu bersama-sama di manapun mereka berada. Ketiganya mengukir kisah SMA sebagai siswa...