12. Panik

250 38 8
                                        

Pintu rumah dibuka, sosok anggun dan sederhana tersenyum mendapati anak-anaknya datang. "Tumben kok sudah pulang aja?" tanya Ibu Nadiva.

"Ibu kok malah bersih-bersih?" semprot Nadiva begitu melihat ibunya sedang mengelap meja makan.

"Ya kalau gak dibersihin ibu, siapa yang mau ngebersihinnya mbak?"

"Tapi kan ibu lagi sakit, harusnya istirahat." sahut Nadiva sambil berjalan mendekat, hendak merebut kain lap yang basah itu. "Sebelum berangkat kan sudah Nad bersihkan tadi."

"Tau tuh ibu mah. Kalau gerak terus gimana mau sembuhnya?" Fajar menyambar.

Ibu Nadiva hanya tersenyum tipis menanggapinya. "Sudah jangan marah-marah. Bawa siapa kamu, mbak?"

Tersadar, akhirnya Nadiva menarik tangan Agas untuk mendekat, "Oh iya, kenalin Bu, temenku."

Agas dengan segera menyalami tangan ibu Nadiva. Lalu memperkenalkan diri, "Agasthya, Bu. Temennya Nadiva."

Mata Siti—Ibu Nadiva—menggerling jahil. "Temen apa temen?"

"Beneran temen, Bu." sambar Fajar. "Katanya belum jadian. Masih proses."

Siti tertawa kecil, sangat anggun. Dari cara tertawanya saja, Agas yakin jika ibunya Nadiva ini merupakan orang yang berkelas.

"Yasudah kalau memang cuma temen, tapi tolong dipercepat ya, mas. Nad anaknya suka oleng kalau gak dikasih kepastian mulu tuh." ucap Siti yang membuat Nadiva menatapnya terkejut, "Ibuuu..." rengek Nadiva yang sudah tak tahan digoda terus menerus.

"Ih pipinya merah banget, mbak." Fajar ikut nimbrung. 

"Fajar diem!" Nadiva melotot tajam.

Fajar tergelak sambil berjalan masuk ke kamarnya.



•333•




Aruna menoleh saat pintu kamar mandi dibuka. Mendapati gadis si pemilik kamar yang baru saja selesai menunaikan ritual mandi paginya.

"Tumben jam segini udah mandi?"

Agatha menaikan sebelah alisnya, "Lah gue kan emang selalu mandi jam segini. Gak kaya Lo yang sukanya mepet adzan Maghrib."

Aruna berdecak kesal, tersindir. "Mau kemana sih?"

"Mau jalan sama Aren dong," jawab Agatha dengan bangga nya.

Aruna mengerutkan keningnya heran, "Yang bener?"

"Lah ngapain gue bohong?" balas Agatha songong.

"Emang beneran, Ren?" tanya Aruna sambil melirik ponselnya. Agatha melotot, apakah Aruna sedang mengobrol via telepon dengan sepupunya itu? Bisa gawat ini!

"Najis! Mana ada! Halu kali itu orang!" balas Aren kasar.

Agatha kelabakan, "Anjir Na? Lo kenapa gak bilang lagi teleponan sama sepupu rese Lo itu heh!" Ia segera menghampiri Aruna dan mengambil ponselnya. Hendak mematikan sambungan telepon.

"Halah rese-rese gini juga Lo suka, kan?" Aren kembali nimbrung ditengah-tengah kepanikan Agatha.

Aruna sudah tertawa terbahak-bahak melihat sahabatnya kepanikan. "Ya ampun kalian ini lucu banget sih," katanya sambil terus tertawa.

"Lucu dari mananya, sih, Na?" seru Agatha nyolot. Ia begitu kesal karena ponsel Aruna tidak bisa ia gapai karena si pemilik ponsel langsung menyembunyikannya.

Aruna malah terus tertawa dan menjauhkan ponselnya dari jangkauan Agatha.

"ARUNA!" teriak Agatha, "Matiin gak? Atau mau Lo nya aja yang gue matiin heh?!"

Three or NothingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang