“Erik, tunggu!” teriak Zafia, dengan napas terengah.
“Lama banget, lo!”
Ipul berhenti sejenak dari larinya, lalu menolehkan kepala—dimana teman dekatnya itu masih berada jauh di belakangnya. Peluh keringat sudah membanjiri dahi dan tubuhnya sampai membuat kaos pendek tanpa lengannya itu basah, ia menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.
“Jalan santai aja dulu, gue capek banget lari-nya, Rik! Heuh...heuh...”
Begitu Zafia sudah sejajar dengan langkahnya, Ipul mulai berlari kecil memutari lapangan sepak bola. Belum ada kesempatan untuk berhenti berlari, gadis itu harus mengejar Ipul lagi yang belum jauh berada di depannya.
“Belum ada tiga puteran, udah capek aja lo. Lemah!”
“Lo kan biasa olahraga tiap pagi, Rik! Beda sama gue yang kalau hari minggu cuman rebahan seharian di dalam kamar.”
“Itu mah lo yang mager. Kita tuh masih muda, dikasih badan sehat ya harus dijaga. Biar ada gunanya itu badan lo, gak cuman rebahaaan aja. Nanti sekalinya bangun, sekalinya jalan udah encok duluan lo. Jadi remaja jompo!”
“Bawel lo!” Zafia mendahului Ipul.
“Wah, nantang lo!” Ipul kembali mensejajarkan langkahnya di samping Zafia. “Kita lomba lari sampai lewatin finis di belakang gawang sana yang kalah harus traktir.”
Mereka berdua berhenti, mengambil ancang-ancang dan saling lomba untuk sampai di garis finis yang Ipul tandai. Zafia semakin tertarik dengan tantangan Ipul, karena ia tahu teman dekatnya yang satu itu punya berbagai cara untuk membuat acara olahraga mereka tidak begitu bosan dan melelahkan.
Mereka terus berlari, beberapa kali Zafia terjatuh di atas rumput hijau yang baru saja dipotong petugas kebersihan dengan mesin pemotongnya. Sedangkan Ipul begitu lincah, mereka hampir sejajar dan pada akhirnya sampai garis finis di depan Ipul berhasil melewati belakang gawang.
“Yess, gue menang!”
Zafia tanpa banyak bicara menghampiri salah satu tukang es jeruk yang berada di pinggir jalan, membiarkan Ipul yang masih berseru sendiri di lapangan. Tidak menunggu lama, gadis itu kembali ke lapangan dengan kedua tangan membawa dua gelas es jeruk.
“Nih, Rik minum dulu.”
Ipul dan Zafia duduk di bawah pohon rimbun yang meneduhi tepi lapangan dengan kedua kaki memanjang. Ipul meminum es jeruk itu dengan rakus, karena hari ini ia benar-benar mengeluarkan seluruh tenaganya untuk olahraga lari pagi. Laki-laki itu selalu rutin setiap hari sabtu dan minggu meluangkan waktu untuk olahraga pagi.
“Ko lo tumben sih mau lari pagi pas gue ajak, biasanya juga kan lo nolak, Fi.”
Zafia mengangkat kedua bahu-nya, jika teman dekatnya hanya diam tanpa bersuara seperti ini Ipul tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi dialami gadis itu.
“Lagi ada masalah?”
“Ayah sama Bunda berantem lagi tadi pagi lewat telepon. Satu minggu Ayah gak pulang, sibuk kerja di luar,” jawab Zafia.
“Terus?”
“Biasanya walaupun satu minggu full di Bandung, Ayah selalu nyempetin waktu buat pulang setiap weekend. Tapi, ini udah dua minggu gak pulang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Love (The Boyz)
Teen FictionSaka-lelaki sejati yang setia dengan hati yang begitu sabarnya memperjuangkan seluruh hidupnya hanya untuk cinta pertama dalam hidupnya yaitu Zafia. Lalu, Zafia-gadis dengan sejuta misteri pada hatinya yang begitu tertutup pada sosok laki-laki yang...