36. Lika-Liku Kehidupan

8 4 0
                                    

Hidup itu seperti roda yang bentuknya sempurna, namun posisinya yang terus berputar. Terkadang ada di atas dan di bawah, tidak ada yang bisa menebak kapan roda itu akan berhenti melaju. Apakah akan berhenti di bawah atau di atas?

Rasanya hidup tidak lengkap, jika tidak dihiasi dengan setiap masalah yang harus dihadapi. Hidup tidak selamanya berada di jalan yang lurus, tapi ada setiap lika-liku yang harus dilalui. Ada saatnya seseorang jatuh dan ada saatnya seseorang bangkit dari setiap masalah yang ada.

Masalah itu mengajarkan setiap orang untuk terus bertahan, meski hati merasa lelah dan tidak jarang ingin menyerah dengan suatu masalah tersebut. Tubuh yang sehat, akal yang berjalan dan seluruh tubuh yang masih berguna adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari keadaan yang sangat terpuruk.

“YAH, KAMU YAKIN MAU KE BANDUNG MALAM INI JUGA?” Bunda membuka sedikit jendela di ruang tengah. “DI LUAR HUJAN DERAS BANGET, YAH! NANTI MALAH BAHAYA.”

“KENAPA, SIH BUNDA GAK PERCAYA SAMA AYAH KALAU AYAH BAKAL BAIK-BAIK AJA DI PERJALANAN? SEMAKIN BUNDA POSESIF, SEMAKIN AYAH GAK NYAMAN!”

Bunda tersenyum miris. “MAKSUD KAMU APA NGOMONG KAYAK GITU, YAH? BUNDA GAK NUDUH AYAH APAPUN DI LUAR SANA, BUNDA CUMAN KHAWATIR! INI UDAH MALAM, YAH.”

Ayah terdiam sejenak dan baru menyadari bahwa perkataannya itu sudah berlebihan sampai membuat Bunda menangis, karena bentakan darinya. Bunda duduk di sofa ruang tengah dan menutupi wajahnya dengan bantal kecil, sungguh dari hati kecil nya Bunda tidak berpikir negatif apapun pada Ayah saat suaminya itu izin pergi ke Bandung malam ini juga.

“AYAH GAK PEDULI, POKONYA MALAM INI JUGA AYAH HARUS KE BANDUNG. INGAT, BUNDA! INI PEKERJAAN AYAH DAN AYAH GAK AKAN MACAM-MACAM DI LUAR SANA.” Ayah mengalihkan pembicaraan dan tidak memedulikan rasa khawatir yang Bunda rasakan.

“PERGI SANA, AKU UDAH GAK PEDULI LAGI SAMA KAMU, YAH!” Bunda balas berteriak dan membuka pintu dengan lebar agar Ayah lekas pergi dari rumah.

Ayah menatapnya dengan wajah menyesal. “Ayah minta maaf, Bunda. A---ayah gak ada maksud buat ngomong itu ke Bunda, tapi Ayah harus pergi malam ini juga.”

“PERGI SANA, YAH! AYAH BILANG GAK PEDULI LAGI SAMA BUNDA.” Bunda menepis tangan Ayah dan menunjuk keluar agar suaminya cepat pergi dari rumah.

Di dalam kamar Zafia memejamkan kedua matanya mencoba untuk mengusir rasa cemasnya saat kedua orang tuanya bertengkar. Rasanya hampir setiap malam Zafia selalu mendengar keributan yang terjadi di antara kedua orang tuanya, saat seperti inilah ia membutuhkan sosok Adit untuk bisa melindungi dirinya.

Sering kali terlintas dalam benaknya apakah Adit pernah berada di posisinya saat ini? Ketakutan dalam sendirian, ketika mendengar suara teriakan yang keras dari kedua orang tuanya. Terkadang Zafia merasa sedih, karena tidak bisa melakukan apapun untuk memisahkan kedua orang tua-nya yang sering kali bertengkar akan suatu masalah yang sepele menjadi besar.

“Aku minta maaf, Bunda.”

Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan sambil menangis dalam diam, menahan isakan tangis agar Bunda tidak mendengar dirinya yang sedang terpuruk saat ini. Zafia sama sekali sudah tidak percaya, ketika melihat kedua orang tuanya yang kemarin masih damai dan sekarang malah bertengkar.

Rasa bahagia saat bersama kedua orang tuanya tidak pernah bertahan lama, karena seperti yang sudah sering terjadi. Ayah dan Bunda pasti bertengkar, percuma diciptakan untuk bersama, jika pada akhirnya kedua orang tua yang paling Zafia sayangi malah bertengkar seperti ini.

“Kak Adit kapan pulangnya, sih? Aku gak tau harus ngomong apa ke Bunda, aku ini bodoh gak bisa berbuat apapun!” Alih-alih rasa cemasnya, Zafia lebih memilih menyembunyikan diri di dalam selimutnya sampai pintu sedikit terbuka.

Unperfect Love (The Boyz) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang