Zafia mengamati foto album pernikahan Bunda bersama Ayah, lalu mengabsen satu persatu wajah saudara kandung Bunda dalam foto bingkai tersebut. Bunda sedang merapikan laci lemari berkas untuk membersihkannya, Adit juga sibuk membuka album foto masa kecilnya di sana.
“Keluarga Bunda banyak banget, ya? Seru banget aku kalau kumpul-kumpul di rumah nenek, karena suasananya yang rame banget,” seru Zafia, membalikan halaman demi halaman.
Adit berdecak. “Apanya yang seru, Dek? Keliatan depannya doang saudara-saudara Bunda semuanya pada akur, tapi asli-nya pada suka ngomong di belakang.”
“Bukannya itu sikap umum-nya setiap orang ya, Kak? Setiap aku ke rumah nenek, kayaknya gak ada yang saling ngomongin sesuatu gitu deh.” Zafia mengangkat bahu nya tanda tidak tahu.
“Nanti suatu saat, Dek. Jangan cuman liat depan nya aja, tapi lo harus liat dalam nya seseorang itu kayak gimana.” Adit mengusap kepala Zafia dengan wajah dramatis. “Jangan terlalu polos, gue kasian sama lo takut dibodohin sama orang!”
Zafia terkekeh. “Lagi apaan juga yang mereka omongin? Paling cuman sekedar nanya kabar atau nanyain Bunda, Ayah terus Kakak.”
“Ya orang mana ada yang berani ngomong depan orangnya langsung sih, Dek? Namanya juga gibah, pasti ngomongnya kebanyakan di belakang!” cetus Adit dengan serius.
Zafia mencibir. “Kakak aja yang sok tahu!”
“Yang lahir duluan itu gue, jadi gue tau semuanya!” cetus Adit sambil memberikan sentilan pada dahi adiknya.
“Sakit tau!” keluhnya yang langsung ia balas dengan mencubit pinggang Adit.
Adit berteriak. “Sakit, anjir!”
Bunda datang ke ruang tengah untuk mengambil kembali foto-foto lamanya yang harus dimasukan kembali ke dalam kardus kotak cokelatnya. Dengan wajah datarnya Bunda langsung mengambil dua album foto yang sedang dipegang kedua anaknya.
“Bukannya bantuin Bunda buangin berkas yang gak kepake, malah duduk di sini. Bunda capek tau!” cetus Bunda dengan wajah kesalnya.
Adit dan Zafia mengangguk pelan. “Iya, kita minta maaf.”
“Cepet bantuin masukin lagi lemari berkasnya ke dalam kamar Bunda,” titah Bunda.
Setelah membantu Bunda merapikan isi kamarnya, Adit langsung bergegas mengantar adiknya ke rumah nenek untuk menginap di sana lagi malam minggu ini. Tampang Zafia memang terlihat seperti orang tidak peduli dengan ucapan seseorang yang mungkin pernah menyakiti hati-nya atau memuji dirinya, hanya satu yang membuat Adit selalu mengeluh yaitu Zafia sangat tertutup sampai sulit ditebak.
“Dek, lo kalau misalkan dengar sesuatu yang gak enak dari orang di rumah nenek cerita sama gue ya,” tukas Adit meliriknya dari kaca spion.
Zafia berdecak. “Ck! Iya, Kak.”
Ini salah satu kelebihan Adit yang ia sukai meski kegiatannya luar biasa sibuk di rumah sakit, Adit selalu mengajaknya bicara atau memberikan sedikit perhatian padanya walaupun masih diiringi saling menjahili satu sama lain. Terkadang setiap hari minggu Adit selalu mengajaknya jalan-jalan sore untuk jajan di pinggir danau atau bersepeda ke taman depan komplek perumahan.
***
Ipul masih menunggu Saka di ruang tamu, karena anak itu sedang pakai baju di dalam kamarnya. Sebenarnya ia sangat malas ketika bermain ke rumah orang, namun si pemilik rumah masih mandi dab itu yang membuatnya malas menunggu. Untungnya Umi menyediakan cemilan, jadi ia bisa memakannya sambil menunggu Saka selesai berpakaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Love (The Boyz)
Teen FictionSaka-lelaki sejati yang setia dengan hati yang begitu sabarnya memperjuangkan seluruh hidupnya hanya untuk cinta pertama dalam hidupnya yaitu Zafia. Lalu, Zafia-gadis dengan sejuta misteri pada hatinya yang begitu tertutup pada sosok laki-laki yang...