28. Menyambut Hari Senin

6 5 0
                                    

Pagi-pagi Zafia sudah heboh berlari kesana-kemari untuk menyiapkan sepatu dan tas sekolahnya. Seharusnya jam lima pagi Zafia sudah bangun untuk mempersiapkan segala macamnya, tapi akibat begadang menonton drama sampai jam setengah satu pagi ia jadi kesiangan dan semuanya disiapkan mendadak. Setelah selesai berpakaian, gadis itu turun ke bawah dengan tergesa-gesa mencari perlengkapan sekolahnya.

Pukul 06.15 pagi wib. Lima belas menit lagi, upacara akan di mulai dan ia tidak boleh terlambat.

“Bunda, sepatu sama topi sekolah aku dimana?” tanya Zafia dengan panik.

“Cari di tiang topi-nya di samping pintu kamar Bunda,” teriak Bunda dari teras untuk mencari sepatu Zafia.

Bunda juga sibuk membantu Zafia, bahkan Adit pun juga terkena imbasnya. Laki-laki itu harus bangun sebelum adiknya rapi, sekarang Adit yang sudah duduk santai di gazebo rumahnya jadi ikutan lelah melihat Bunda dan Zafia yang saling bersahutan dengan teriakan. Gadis itu keluar dari rumah, topi-nya sudah ia masukan ke dalam tas dan kini tengah duduk di samping kakaknya yang masih terus menguap karena mengantuk.

“Makanya kalau giliran Bunda suruh siapin dari jauh-jauh hari, langsung nurut!” Bunda menukas dengan kesal, lalu melemparkan sepatu milik anak bungsunya. “Ini sepatunya!”

Zafia hanya diam, karena tidak berani melihat wajah Bundanya yang pagi ini tampak begitu suram. Adit yang sudah duduk di atas motor hanya menggeleng pelan, karena adiknya itu super malas untuk mengurusi keperluannya sendiri. Bersyukurnya mereka punya Bunda yang selalu siap siaga, ketika anak-anaknya tidak patuh seperti ini.

“Ayok, cepetan!” sungut Adit mengencangkan suara motornya yang berisik, menambah kepanikan dalam diri Zafia.

“Bunda! Aku berangkat.”

Zafia beranjak dan bersalaman dengan Bunda tanpa menyapa Ayah yang sedang berbincang dengan ketua RT di gazebo taman komplek depan rumahnya. Adit langsung menambahkan kecepatan saat keluar dari rumahnya, membuat Zafia otomatis menarik ujung kaos putihnya yang longgar.

Sesampainya di sekolah yang jaraknya cukup dekat, Zafia langsung turun dan bersalaman dengan Adit. Saat melihat Rafa yang juga baru datang, kepanikannya berkurang dan sepertinya tidak masalah jika harus terlambat upacara bersama Rafa—itu sangat menyenangkan untuknya.

“Fia, ayok! Cepat masuk.” Rafa menyapa dan membuka gerbang sedikit lebar agar yang lain langsung masuk ke dalam.

“Iya, ayok! Raf,” seru Zafia.

Zafia tiba-tiba lupa bahwa di depan pintu masuk sekolahnya masih ada Adit yang tengah memperhatikan nya dari jauh. Adit tersenyum dan berhasil melihat sosok laki-laki yang disukai adiknya, seharusnya tadi ia bawa ponsel agar bisa memotret wajah Rafa itu.

Setelah menaro tas di dalam kelas, Zafia kembali keluar dan mencari teman-teman sekitarnya. Ipul tengah berbincang di depan ruang komputer dengan Saka, tidak ada pilihan selain harus ikut bergabung bersama dua sahabat sejati itu—ia tidak bisa sendirian dalam suasana yang ramai seperti ini.

“Fiaaa,” panggil Ipul.

Zafia duduk di samping Ipul, tidak lupa tersenyum menyapa Saka. Ipul meringis pelan, ketika melihat sahabatnya yang tiba-tiba menjadi kalem. Ia sudah terbiasa menghadapi tingkah-tingkah kedua sahabatnya ini dan itu tidak membuatnya terganggu sama sekali, Ipul hanya sedikit ilfil.

“Lo liburan kemana aja, Fi?” tanya Saka.

Zafia berpikir sejenak. “Ke rumah nenek, itu juga dekat banget rumahnya dari komplek perumahan gue. Terus ke Puncak sama keluarga tiga hari yang lalu.”

“Gue sama Ipul main tiap hari, kemana aja sih naik motor. Jajan kulineran di UI, terus habisin tahun baru di rumah gue rame-rame sama Andi terus Panji,” seru Saka meski Zafia tidak balik menanyakannya.

“Seru dong,” ucap Zafia.

Saka melirik tidak minat pada Ipul. “Apa-nya yang seru, setiap hari ketemu dia nih—bosen banget. Mana anaknya makan mulu!”

“Hahahaha.” Zafia tertawa kecil sambil menutupi mulutnya.

“Lo juga anjir, ko gue jadi digibahin sih!” lontar Ipul menjitak kepala Saka.

Perbedaan antara Zafia dan Saka begitu jauh, Zafia merasa canggung berinteraksi dengan Rafa dan Saka bersikap seperti biasa pada Zafia. Dari perbedaan itu Ipul bisa melihat Saka benar-benar tidak mau merasa canggung dengan Zafia, ia terus bersikap biasanya agar tetap dekat dengan Zafia.

Kring....

“Ayok, kita ke lapangan!” ajak Ipul.

***

Selesai upacara para siswa dan siswi masih berlalu-lalang keluar masuk kelas dengan begitu bebas, karena belum belajar normal seperti biasanya. Terkhusus kelas dua belas—setiap wali kelas hanya memberikan arahan pada siswa dan siswi untuk mengikuti kegiatan les setiap hari sabtu terkait beberapa mata pelajaran yang ikut serta masuk ke dalam UNBK nanti.

“Yah, sabtu pagi gue gak rebahan lagi dong,” keluh Lula.

Zafia tersenyum kecil. “Gue malah seneng sih, kalau hari sabtu harus masuk buat les gitu. Jadi gak kesepian banget sabtu pagi-nya.”

“Gue juga sabtu gak kemana-mana, jadi buat produktif hari weekend gak masalah-lah,” ucap Saka dengan tersenyum jumawa.

“Kayaknya kita harus sering jalan-jalan bareng deh,” celetuk Ipul dengan jari telunjuk menyentuh dagu-nya.

Saka memukul pelan kepala Ipul dari belakang. “Ini lagi, gak ada hubungannya sama jalan-jalan, woi! Dah kelas 12 insaf kalian semua.”

“Sebentar deh.” Rafa berpikir sejenak. “Gini aja, selesai les hari sabtu—kita bisa sambil main. Jadi gak bakal bosenin.”

Ipul dan yang lainnya mengangguk setuju. “Gak usah direncanain, kalau bisa sih dadakan aja. Kalian tau sendiri, kan kalau direncanain bakal kayak gimana.”

“Iya, bener.”

Mengingat akan ada kegiatan les setiap hari sabtu, membuat Zafia bahagia karena masih ada peluang untuk bermain di luar dari pada di rumah seharian penuh, karena yang ada ia akan menjadi babu pesuruhnya Adit. Rasanya malas sekali, jika seperti itu.

“Kata Bu Nurul, kalau les gitu anak-anaknya boleh campur. Nanti bakal ada nama kelas A sampai E,” kata Rafa.

Yang lain saling melemparkan pandangan puas dan tengah berharap bisa berada di satu kelas yang sama dengan teman-teman dekat. Zafia sendiri selalu berharap bisa berada di kelas yang sama dengan Rafa, mendengar informasi dari laki-laki itu membuat Zafia semakin semangat.

“Semoga satu kelas sama Rafa.”

Di hati yang lain, Saka merasa sangat senang dan tentunya pandangan Zafia yang sedang tersenyum pada Rafa membuat laki-laki itu juga berharap dalam hati.

“Semoga satu kelas sama Zafia.”

Ipul melirik jengah pada Saka dan Zafia, raut wajah yang ia amati itu tidak bisa dibohongi lagi. Seperti itulah, ketika seseorang yang sedang jatuh cinta tekad nya selalu kuat untuk tetap ada di dekat objek spesialnya.

“Gue sama siapa aja juga jadilah, bodo amatan.” Ipul menyisir rambutnya ke belakang, membuat dahi putihnya terlihat lega.

***

Thank You
Vote dan Komentar.

Unperfect Love (The Boyz) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang