Setelah makan malam bersama di meja. makan yang melingkar, Adit mengumpulkan keluarganya di sana untuk membicarakan sesuatu yang sangat ingin ia sampaikan pada semuanya. Ia mengumpulkan keberanian sebelum bicara pada Bunda dan Ayah, karena hal ini agak sedikit sakral.
Adit sudah melakukan sumpah dokter satu minggu yang lalu di hari kamis, kini ia berhasil naik jabatan menjadi dokter internsip. Jauh sebelum memikirkan rencana ini untuk bicara pada keluarga nya, Adit sudah menghitung berapa banyak tabungan di rekening-nya dari sejak ia kecil sampai saat ini. Meski biaya kuliahnya yang sangat mahal masih menjadi tanggung jawab kedua orang tua-nya, Adit sudah membuktikan bahwa selama ini usaha Bunda dan Ayah sama sekali tidak sia-sia sampai akhirnya ia berhasil menjadi dokter seperti sekarang.
“Ehem.”
Tiga yang lainnya menoleh pada Adit yang berdeham pelan untuk mencairkan suasana yang sempat hening sebentar. Ayah menutup laptop-nya, Bunda menatap penasaran dengan apa yang akan Adit sampaikan dan Zafia—hanya diam mendengarkan sambil memainkan ponsel nya.
“Jadi gini, Ayah, Bunda, Fia.” Adit mulai membuka pembicaraan.
Bunda mengangguk. “Jadi gini apa-nya? Kalau mau cerita ya silakan aja, kenapa harus ragu begini? Santai aja, Dit.”
Ayah dan Zafia mengangguk, membuat Adit tersenyum saat melihat antusias keluarga yang selalu memberikan support untuknya. Ia menarik napas sejenak, lalu mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya berbicara.
“Ayah, Bunda, Adit mau lamar Jamia.”
Bunda sedikit mundur dengan wajah terkejut, sedangkan Ayah tersenyum wibawa dan Zafia melirik kakaknya sekilas dengan wajah datar. Adit masih menunggu jawaban dari keluarga-nya, karena ini terlalu mendadak dan mungkin di sebrang sana Jamia juga sedang bicara pada kedua orang tua-nya.
“Kamu serius, Dit? Beneran mau lamar Jamia atau udah tanpa sepengetahuan kita?” tanya Bunda memastikan niat Adit.
Adit mengangguk tegas. “Adit serius, Bun, Yah. Sebenarnya waktu antar Mia pulang hari senin seminggu yang lalu Adit udah lamar di restoran dirayain bareng-bareng sama teman-teman kerja Adit. Nah, sekarang mau lamaran yang resmi tapi minta restu dari Ayah, Bunda dulu, sama Fia.”
“Bunda sama Ayah dan juga Fia udah restuin hubungan kalian.” Ayah menepuk bahu Adit. “Kapan mau datang ke rumah Mia, nanti kita ke sana untuk seserahan dan rembukan rencana kapan hari pernikahannya nanti?”
Senyuman Adit semakin lebar, ia mencium tangan Ayah dan Bunda. “Makasih, Ayah, Bunda.”
“Dek, minta doa-nya ya buat Kakak.” Tidak lupa Adit juga memeluk Zafia yang hanya tersenyum.
“Selamat ya, Kak Adit.”
Adit kembali duduk untuk menjawab pertanyaan Ayah tadi. Hal ini sudah ia rencanakan masak-masak bersama Jamia dari seminggu yang lalu, karena keduanya sepakat tidak mau terlalu lama pacaran dan ingin secepatnya menjalin hubungan yang lebih serius untuk sampai di pernikahan.
“Minggu ketiga pertengahan januari, Adit udah hitung tabungan di rekening buat lamar Mia—udah siap uangnya untuk ke sana. Adit sama Mia udah rencanain ini seminggu yang lalu, hari ini di rumahnya Mia juga lagi bicara sama orang tua-nya.”
Bunda mengusap helai rambut Adit yang sudah panjang. “Anak sulung Bunda akhirnya, nanti kalau sudah jadi suami tanggung jawab kamu harus lebih serius lagi. Saat sudah berumah tangga itu gak mudah menjalankan-nya, Dit—banyak cobaan yang harus kalian alami sama-sama.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Love (The Boyz)
Teen FictionSaka-lelaki sejati yang setia dengan hati yang begitu sabarnya memperjuangkan seluruh hidupnya hanya untuk cinta pertama dalam hidupnya yaitu Zafia. Lalu, Zafia-gadis dengan sejuta misteri pada hatinya yang begitu tertutup pada sosok laki-laki yang...