25. Jika Tidak Ada Perasaan.

10 5 0
                                    

Ipul mendelikan kedua matanya melihat ke arah Panji dengan tatapan tidak suka. Panji itu sebenarnya terlihat biasa saja, tapi dari lubuk hati Ipul yang paling dalam entah kenapa saat pertama kali bertemu dengan Panji sampai saat ini ia tidak tertarik untuk berteman dengan laki-laki tiang listrik itu.

“Ngapain bawa Panji ke sini, sih?” Ipul protes terang-terangan di depan Panji langsung yang sedang tidur.

Saka menggaruk dahinya. “Gue gak tau mau bawa kemana lagi, selain yang paling dekat dari tempat futsal ya rumah lo doang. Di sini tukang pijat nya juga dekat, jadi ya udah gue bawa ke sini aja.”

Ipul melirik jengah pada Panji yang tengah terlelap di tempat tidurnya. Rasanya aneh saja, karena sebelumnya Panji itu tidak pernah berbicara pada Ipul. Tapi, sejak adanya Saka sebagai anak baru di kelasnya Panji tiba-tiba saja menjadi akrab dengannya. Sudah lebih baik tidak bertegur sapa dengan Panji, tapi sekarang malah sering main bersama.

“Saiful! Itu teman kamu udah minum obat belum?” tanya Ambu.

Ipul mengangguk. “Udah, Ambu. Orangnya lagi tidur.”

“Ya udah jangan diganggu dulu, kamu nongkrong di teras aja.”

Saka mendorong Ipul keluar dan membawanya ke teras rumah, karena ada hal yang lebih penting dari pada Panji yang habis terkena musibah kaki kirinya terkilir saat main bola. Ipul agak terkejut, saat Panji datang dengan mengerang sakit dan Ambu yang tiba-tiba membawa tukang pijat wanita ke rumah tanpa sepengetahuannya ketika ia baru selesai mandi. Siang-siang dua kawannya itu sudah membuat heboh di rumahnya.

“Gue mau cerita sama lo!” tunjuk Saka langsung.

“Gimana pas kemaren jalan-jalan sama Gita?” tanya Ipul.

“Gue diputusin duluan sama Gita,” jawab Saka menundukan kepalanya.

Ipul mengeluarkan tawanya mencibir. “Rencana mau mutusin Gita, eh malah diputusin sama Gita langsung. Ya, sadboy!”
“Tapi, gue agak lega sih Gita mutusin gue duluan, karena kalau gue duluan yang mutusin dia yang ada rasa bersalah gue gak akan pernah hilang.”

Saka melebarkan lima jarinya. “Pertama, pacaran tapi gak cinta sama dia. Kedua, jadiin dia pelampiasan gue. Ketiga, bikin dia nunggu. Keempat, jujur sama dia walaupun pait. Gila, kesalahan gue banyak banget sama Gita!”

“Tapi, lo bilang sama Gita siapa perempuan yang udah lama lo suka?” Ipul memastikan dengan wajah serius.

“Gue gak kasih tau ke Gita, kalau perempuan yang gue suka itu si Fia. Takutnya nanti Gita malah cerita ke Fia lagi, gue belum siap kalau misalkan Fia tau perasaan gue ke dia kayak gimana,” jawab Saka apa adanya.

Ipul bertepuk tangan dan menggeleng tidak habis pikir dengan pemikiran di kepalanya saat ini. Zafia dan Saka adalah definisi cinta yang tidak terencana, keduanya sama-sama bodoh dalam hal mencintai dan dicintai.

“Sama aja nasib lo kayak Zafia noh. Lo cinta sama Fia, tapi Fia malah suka sama Rafa! Gita cinta sama lo, tapi lo malah suka sama Fia,” cibir Ipul dengan tawa konyolnya.

Saka dan Ipul sama sekali tidak sadar, karena terlalu hanyut bercerita di teras sedangkan dibalik teras itu diam-diam Panji mendengarkan obrolan keduanya samar-samar dengan kedua mata terpejam.

“Hidup pake segala ada perasaan, ribet banget dah!” timpal Saka dengan menggosok kedua matanya.

“Kalau hidup gak pake perasaan, gak akan ada yang namanya perasaan sedih, bahagia, suka dan duka, benci dan marah. Filosofi 'rasa' itu ada banyak, tau gak kenapa hidup harus ada perasaan?” tanya Ipul.

Ipul menepuk sekilas lehernya dari belakang, tepukan tidak bisa dikatakan pelan. Laki-laki itu memukul lehernya, menurunkan tangan kirinya menuju tulang bahu kekar milik Saka dan memijatnya sedikit ditekan.

Unperfect Love (The Boyz) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang