Minggu malam hari Zafia sudah berada di rumah neneknya, sesuai rencana yang sudah dibuat sebelum liburan bahwa ia akan menginap di rumah nenek selama satu minggu lama-nya. Rumah nenek tidak begitu jauh dari perumahan tempat tinggalnya, posisinya ada di dalam gang kecil bernama Gang. Merpati—hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di rumah nenek tercinta ini.
“Makasih Ayah udah anter aku ke sini,” ucap Zafia dengan senyum kecilnya.
Ayah mengangguk. “Sama-sama, Dek. Nanti kalau mau jalan-jalan bilang sama Ayah ya, biar kita langsung otw.”
“Gampang itu mah, Yah.” Zafia menatap Bundanya. “Bunda bawa tiga potong ayam kuningnya, kan? Mentah aja dulu, nanti aku sendiri yang goreng di sini kalau mau makan.”
“Iya, Bunda udah siapin di dalam tupperwere biru punya kamu. Kalau di sini, jangan terlalu ngerepotin Ibu Mei,ya.” Bunda berbisik pelan sambil mengeluarkan kotak makan itu di atas meja.
“Hehehe, oke, Bunda makasih.” Zafia berseru sambil berlalu. “Aku ke ruang tengah dulu ya, Bun.”
Adit sendiri melirik jengah pada adiknya, rumah nenek itu dekat sekali. Tapi, kenapa rasanya seperti melepas Zafia untuk pergi ke tempat jauh dan harus di antar pula sampai semuanya ikut ke sini. Ia duduk di samping Meira—kakak kandungnya Bunda nomor tiga yang sedang memijat bahu kekarnya.
“Adit gak ikut nginep di sini?” tanya Meira, membuat distraksi tiga yang lain menuju ke arahnya.
Adit menggeleng pelan. “Gak, Ibu, Adit sibuk tugas di rumah sakit. Dikit lagi mau ngucap sumpah dokter.”
“Masya Allah, anak Ibu yang satu ini hebat banget loh. Nanti Ibu sakit, diperiksa sama Adit aja ya.” Pujian Meira membuat Adit salah tingkah.
Adit hanya tersenyum malu, dalam keluarga Bunda itu tidak ada keponakan yang memanggil embel-embel 'tante dan 'Om'. Dari kecil cucu-cucu nenek sudah dibiasakan untuk memanggil saudara-saudara kandung Bunda dengan sebutan 'Ibu, Bunda dan Mama. Bapak atau Ayah' agar tidak ada rasa canggung saat memanggilnya. Di sinilah kebersamaan cucu nenek berada tanpa malu sekalipun.
Sangat berbeda jauh sekali dengan saudara-saudara kandung Ayah di Cirebon, bahkan sesama sepupu saja rasanya begitu canggung dan sangat sungkan. Baik Adit ataupun Zafia tiba-tiba menjadi anak yang sopan dan pemalu saat diajak bicara oleh tante atau om-nya. Padahal hubungan Bunda dan Ayah serta tante dan om-nya yang lain tidak begitu canggung.
“Kalau Adit pegal badannya, Ibu aja yang pijat Adit ya, tapi gratis.” Adit mengedipkan sebelah matanya.
Meira hanya tertawa, berhenti dari aktivitasnya memijat Adit. “Memang selama ini Ibu minta dibayar habis pijat keponakan-keponakan Ibu yang lain, hm?”
“Hehehe, enggak sih.”Sejak kakek dan nenek meninggal, rumah nenek ini dirawat dan dijaga oleh Meira bersama dengan Agus—suami juga kedua anak laki-lakinya yang tinggal di sini. Meski keduanya sudah meninggal, keluarga Bunda tetap menjalin silaturrahmi. Rumah nenek selalu ramai, jika waktu libur panjang sudah tiba—banyak cucu-cucu nenek yang selalu menginap di sini.
“Kalian sekeluarga kenapa jarang main ke sini?” tanya Meira pada Bunda yang sebagai adik bungsunya.
“Gue sibuk, Bu,” jawab Bunda. “Anak-anak juga pada sibuk, Agung juga sibuk.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Love (The Boyz)
Teen FictionSaka-lelaki sejati yang setia dengan hati yang begitu sabarnya memperjuangkan seluruh hidupnya hanya untuk cinta pertama dalam hidupnya yaitu Zafia. Lalu, Zafia-gadis dengan sejuta misteri pada hatinya yang begitu tertutup pada sosok laki-laki yang...