Dalam dinginnya malam ditemani bulan dan beberapa bintang yang menghiasi permadani langit malam ini, tampak begitu cerah dan bersinar. Orang-orang yang masih berlalu lalang di jalanan setelah seharian beraktivitas dengan kegiatan masing-masing untuk pulang ke rumah membuat jalanan semakin padat. Saka masih menetap di tempat duduknya, masih mengumpulkan keberaniannya untuk pulang ke rumah.
Laki-laki itu menengadahkan kepalanya, menatap sejenak keindahan bulan dan bintang di atas sana. Terlihat cantik, tetapi Saka sedang tidak minat untuk menikmati keindahan itu. Hatinya sedang gundah gulana, ketika ia tidak sengaja mendengar Suci-adiknya umi yang paling bungsu sedang berbicara dengan Umi di kamar bahwa Umi diam-diam menyembunyikan penyakitnya selama ini. Penyakit yang dirasa bisa membunuh Umi kapan pun waktunya.
"Uwa jangan begitu ke Saka, mau gimana pun Saka sama Akmal itu harus tau penyakit jantung uwa yang bermasalah."
"Saka sama Akmal itu anak Uwa, kasian kalau misalkan anak-anak gak tau penyakit uwa."
Saka mengembuskan napasnya, tiba-tiba ia merasa menjadi anak yang tidak berguna dan tidak bisa diandalkan oleh Ibu-nya sendiri. Hatinya sakit, ketika ia baru tahu bahwa ibu-nya menderita penyakit jantung sejak dua tahun belakangan ini. Saka menyalakan dirinya sendiri. Anak macam apa dia yang tidak tahu bahwa ibu-nya tengah sakit dan berjuang sendirian menahan penderitaan selama ini?
"Kenapa umi? Kenapa gak kasih tau ke Saka, kalau umi sakit?"
Bersamaan dengan kalimat itu, air mata Saka menetes perlahan membasahi pipi- nya. Ia belum berani pulang ke rumah, tidak sanggup melihat wajah umi yang terlihat begitu teduh, alih-alih penyakit yang selalu disembunyikan dari-nya. Semalam Saka bermimpi bahwa ibu-nya meninggal, namun mimpi itu terasa begitu nyata dan ia tidak mau mimpinya menjadi sebuah kenyataan.
"Saka takut ditinggal umi, nanti di sini Saka sama siapa?
Hatinya membatin begitu dalam, ia menyeka air mata yang semakin turun di permukaan wajah-nya. Bergegas memakai helm dan mengambil langkah menuju parkiran motor, meninggalkan taman komplek di depan perumahan Zafia.
Sesampainya di rumah, Saka melepas helm dan masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Kepalanya tertunduk lemah, ketika mendapatkan umi yang menunggu kedatangannya di teras rumah. Namun, kepala Saka kembali tegak dan memasang senyum ceria di depan umi-nya. Hati-nya begitu sakit saat melihat senyum hangat umi.
"Kamu baru pulang? Tadi sore kemana, kenapa gak telepon Umi kalau kamu mau main dulu ke rumah Ipul?" sapa Umi, tangan kasar itu mengusap kepalanya dengan lembut.
Saka tersenyum. "Maaf Umi, Saka gak sempet kasih kabar. Saka gak jadi main ke rumah Ipul, jalan-jalan aja di taman dekat aparteman rafles."
"Mandi, kasep. Habis mandi, nanti Umi siapin makan malam buat kamu."
"Iya, Umi."
Sepuluh menit kemudian, Saka sudah keluar dari kamarnya dengan kaos putih dan sarung wadimor merah-nya menuju meja makan. Lauk pauk favoritnya ada di atas meja makan yaitu ikan gurame yang digoreng dan sayur lalapan seperti timun, kol dan daun selada tidak lupa sambal goreng buatan Umi yang paling enak di dunia ini.
"Makan, sayang. Masih hangat, enak deh," seru Umi, tangan kasar itu memijat bahu Saka.
Saka tersenyum, mencium pipi sang ibu. "Makasih, Umi."
"Sama-sama, kasep."
Dalam diam Saka menikmati makan malamnya, di sebrang meja masih ada Umi yang sedang sibuk dengan ponselnya. Alih-alih makan, Saka mencuri pandangan dengan Umi-nya. Hatinya begitu sedih saat mengingat mimpi buruknya semalam, tanpa terasa air matanya kembali mengalir. Saka masih terus menikmati masakan Umi-nya, menelannya dengan begitu susah payah karena kerongkongan-nya yang terasa nyeri saat menahan isakan tangisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Love (The Boyz)
Teen FictionSaka-lelaki sejati yang setia dengan hati yang begitu sabarnya memperjuangkan seluruh hidupnya hanya untuk cinta pertama dalam hidupnya yaitu Zafia. Lalu, Zafia-gadis dengan sejuta misteri pada hatinya yang begitu tertutup pada sosok laki-laki yang...