34. Waktu Yang Semakin Singkat

11 5 0
                                    

Saat ini Zafia dan Ipul sedang berada di taman lampu yang jaraknya tidak begitu jauh dari sekolahan untuk membeli jajanan yang berbagai macam di pinggir taman. Zafia duduk di bawah pohon yang rindang, menunggu Ipul yang sedang mengambil pesanan takoyaki. Dua teh botol dingin sudah Zafia dapatkan, setelah mengantre bersama anak-anak sekolah dasar yang baru pulang sekolah.

“Ini takoyaki punya lo, Fi.”

Zafia menerima styrofoam isi lima takoyaki dari tangan kiri Ipul. Hening sesaat, karena mereka sedang sibuk mengisi perutnya yang lapar. Takoyaki adalah makanan wajib yang harus Zafia beli saat di taman lampu ini, karena isi telur dan sosisnya yang sangat enak.

“Abang lo dokter, tapi lo makannya gak dijaga! Tetap aja jajannya sembarangan kayak gini,” tukas Ipul disela kunyahannya.

Zafia menoleh sekilas. “Kata siapa Kak Adit makan-nya dijaga? Dia aja mau nitip seblak sama gue, barusan chat-an sama gue. Tapi, gue ogah nunggu lama beli di seblak mekar!”

“Gue gak percaya, anjir!” Ipul mulai protes di sela kunyahannya. “Gue main sama Bang Adit pasti selalu buah yang disediain buat ngemil rame-rame, terus minumannya air putih. Kurang sehat apalagi gue tinggal di rumah lo, Fi.”

Zafia tertawa. “Dokter-dokter begitu, pokonya Kak Adit mau makanan apapun yang enak di lidahnya langsung beli. Kalau di rumah Kak Adit jarang makan, tapi lebih banyak ngemil buah-buahan aja di rumah. Makanya kalau pas lo buka kulkas Bunda isinya aja lebih banyakan buah.”

“Iya, juga sih.” Ipul mengangguk paham. “Bodo amat profesi dokter, tapi makan sembarangan mah lanjut aja ya. Makan di warteg juga jadi.”

“Nah, itu dia.”

Tidak butuh waktu lama, akhirnya mereka selesai makan dan minum. Ipul merasa sedikit lega, karena akhirnya Zafia sudah tidak marah lagi padanya meski ucapaan maaf belum dilontarkan gadis itu. Ia tidak terlalu mempersalahkan, karena caranya seseorang untuk minta maaf itu berbeda-beda.

“Gue di traktir nih?” tanya Ipul dengan cengiran anehnya.

Zafia mengangkat kedua alis. “Iya, kan udah gue bayar.”

“Makasih, ya.”

“Santai aja, sih! Kayak sama siapa aja lo.” Zafia mengibaskan tangan kanannya.

Ipul menjentikan ibu jarinya. “Kapan-kapan gue traktir lo makan.”

Zafia termenung di tempat duduknya, pura-pura menggeser menu ponsel agar terlihat sibuk. Ia selalu mengeluh atas berjalannya waktu yang begitu cepat, waktunya semakin singkat untuk bertemu teman-teman dekat di sekolahnya, bahkan Adit yang akan menikah juga berkeluarga atau mungkin akan meninggalkan rumah demi membina rumah tangganya nanti.

“Rik, ko waktu jalannya cepat banget ya,” keluh Zafia dengan wajah sedihnya.

Ipul menyahut. “Hah? Apaan?”

“Kita pulang sekarang, yuk! Gue capek.” Zafia menarik perkataannya, kemudian beranjak dari duduk.

Di tinggalkan sendiri di rumah, ketika yang lain sibuk bekerja memang menyenangkan untuknya. Zafia hanya tidak suka merasa kesepian di rumah, meski selama kesendiriannya ia bebas melakukan apa saja dengan ditemani suara televisi, laptop untuk menonton drama korea favoritnya atau main ponsel, kemudian makan dan tidur.

Aktivitas selama lima hari di sekolahnya, sangat membantu dirinya sendiri untuk mengalihkan rasa sepinya. Di saat yang lain membenci hari senin, justru saat libur di hari weekend ia ingin waktu berjalan dengan cepat untuk sampai ke hari senin, karena saat di sekolah ia selalu merasa bebas dari kesepian yang kadang membuatnya sedih. 

Unperfect Love (The Boyz) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang