|14. Sebuah Kabar

16 4 0
                                    

Zafia menyambut hari dengan baik, jumat yang penuh kebahagiaan. Ia sangat menyukai hari jumat, karena pulang sekolahnya bisa lebih awal. Seperti sebuah rutinitas yang sudah menjadi kebiasaan sekolahnya, setiap hari jumat semua siswa dan siswi dikumpulkan di masjid sekolah untuk tadarusan dan membaca doa bersama.

Meski sekolahnya bukan MAN, tapi kegiatan itu masih dilakukan di SMA, terutama untuk anak kelas dua belas. Pagi hari yang masih sejuk dengan udara dingin-nya, membuat siapapun mengantuk untuk mengikuti kegiatan tadarus pagi ini. Membaca, sekaligus mendengarkan lantunan ayat suci al-qur'an yang dibacakan, belum lagi ceramah singkat yang disampaikan oleh kepala sekolah yang justru makin membuat siswa dan siswi semakin mengantuk.

“Heh, Fia! Kenapa sih dari tadi gak fokus banget baca qur'an-nya?” bisik Lula.

“Gpp, La.” Zafia kembali fokus pada kita suci-nya.

Kedua matanya masih celingak-celinguk ke depan bagian tempat duduk belakang para siswa. Entah sudah berapa ayat yang ia lewati begitu saja, karena tidak konsentrasi dalam bacaan al-qur'an-nya. Gadis itu sering kali mengeluh, karena tidak mendapati seseorang yang sedang ia cari keberadaannya.

Mau bertanya pada Lula, tapi malu. Tidak bertanya, justru malah membuatnya terus mencari keberadaan orang tersebut. Tapi, sepertinya Lula mengerti atas apa yang sedang Zafia cari itu.

“Lu nyariin Rafa?”

Zafia menunjuk cengiran bibirnya. “Hehehe, iya.”

“Rafa lagi pergi ke Sumedang buat satu minggu ke depan.”

“Loh, bukan-nya satu minggu lagi kita mau UAS?” tanya Zafia lagi.

“Nah, justru itu sebelum ujian dua minggu lagi, Rafa sama keluarganya ke Sumedang dulu buat jenguk kakek-nya yang lagi sakit parah,” jawab Lula.

Zafia mengembuskan napas dalam, berarti untuk satu minggu ini ia tidak bisa melihat Rafa. Gadis itu kembali fokus membaca kitab sucinya, pakaian Rafa setiap hari jumat itu membuat hati-nya adem saat melihatnya. Seragam panjang putih sekolah, celana abu-abu dan peci hitam yang menutupi rambut panjangnya, apalagi kalau Rafa tersenyum. Itulah bagian terfavorit Zafia setiap hari jumat.

“Jumat depan, kayaknya Rafa udah pulang sih.”

Tanpa mengalihkan fokus, Zafia mengangguk. Sedikit ada rasa lega di hati-nya, jika dipikir-pikir hanya satu minggu ia tidak melihat Rafa. Bagaimana jika nanti mereka lulus? Pasti tidak bisa bertemu seperti biasanya lagi. Mengingat tentang kelulusan, rasanya sudah membuat Zafia overthinking.

Kegiatan membaca doa bersama yang berlangsung selama 1 jam 30 menit itu, akhirnya berakhir. Siswa dan siswi mulai berhamburan keluar masjid dengan tertib, Zafia yang sudah selesai memakai sepatu, menunggu Ipul yang entah berada dimana.

“Ck! Lama banget, sih. Kan gue bilang ketemuan di depan tempat wudhu cowok,” tukas Zafia dengan nada kesal, karena ia menunggu cukup lama.

“Ngapain nungguin? Masuk aja duluan ke kelas!” sungut Ipul, kedua alisnya hampir menyatu. Ia berjalan lebih dulu, membiarkan Zafia mengikutinya dari belakang.

Ipul itu sudah hapal luar dalam sikap Zafia yang bisa dibilang sedikit egois. Jika, tidak dituruti permintaannya, gadis itu akan marah. Tapi, pada akhirnya Zafia tidak bisa menghabiskan waktu yang lama untuk marah pada Ipul.

Ipul mempunyai kekuasaan yang membuat dirinya selalu menang, karena ia selalu dibutuhkan oleh Zafia. Jadi, saat Zafia marah justru Ipul akan diam—sampai akhirnya gadis itu akan meminta bantuan pada-nya.

***

Saka mengembuskan napasnya yang terasa berat, ketika melihat kontak Gita yang sudah beberapa bulan ini tidak ia kunjungi. Ia merasa sangat bersalah, karena sikap-nya saat terakhir kali bertemu. Rasa canggung untuk menghubungi Gita, sudah memenuhi dirinya. Saka takut gadis itu marah atau sedih pada-nya.

Unperfect Love (The Boyz) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang